Umat Katolik Kritisi Din Syamsudin Samakan Vatikan dengan HTI
Friday, 14 July 2017
Edit
Darirakyat.com, JAKARTA –
Kalangan internal umat Katolik mengkritisi pernyataan mantan Ketua Pengurus
Pusat Muhammadyah, Din Syamsumin, menyamakan keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) dengan Negara Vatikan.
“Saya menaruh hormat dengan Din Syamsudin selalu tokoh nasional,
tapi kalau menyamakan kiblat umat Katolik terhadap Vatikan dengan kilbat HTI,
ada hal-hal prinsip yang mesti dikritisi. Agar tidak menimbulkan polemik
berkepanjangan,” kata Yohanes Nenes, Ketua Tim Advokasi dan Lembaga Konsultasi
Hukum Majelis Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat, Jumat (14/7/2017).
Yohanes Nenes, mengatakan hal
itu menanggapi Din Syamsudin saat konferensi pers di sela-sela halalbhihalal di
Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (DPP PAN), Jalan Senopati
Raya, Jakarta Selatan, Rabu malam, 12 Juli 2017.
Din Syamsudin menanggapi pengumuman dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, tanggal 10 Juli
2017, tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2017.
Din Syamsudin bereaksi, karena disebut-sebut sebagai Ormas
radikal, HTI salah satu yang akan dibubarkan.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menugaskan Menteri
Koordinator Politik dan Keamanan, Jenderal Purn Wiranto, untuk mengumumkan
latar belakang penerbitan Perppu dimaksud di Jakarta, Rabu pagi, 12 Juli 2017.
Din Syamsudin menilai cita-cita wacana pendirian negara khilafah
oleh HTI tidak perlu direspon pemerintah dengan menuding mereka sebagai
kelompok anti-Pancasila.
Menurut Din Syamsudin, khilafah bagi umat Islam layaknya
eksistensi Vatikan yang menjadi kiblat umat Katolik di seluruh dunia.
“Wawasan dan wacana khilafah itu di kalangan umat Islam tak
lebih pada eksistensi Vatikan,” kata Din Syamuddin.
Wacana dan cita-cita khilafah, kata Din Syamsudin, merupakan
keinginan adanya kepimpinan universal umat Islam sedunia. Layaknya Paus sebagai
pemimpin tertinggi umat Katolik dan berpusat di Kota Vatikan.
Dengan cita-cita seperti itu, lanjut Din Syamsudin, Pemerintah
seharusnya tak terlalu cepat melabeli HTI sebagai kelompok anti-Pancasila. “Tak
berarti umat Katolik di Indonesia yang patuh ke Vatikan anti-Pancasila. Saya
memahami posisi pemikiran HTI itu,” kata Din Syamsudin, mantan Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.
Diungkapkan Yohanes Nenes, penyamaan kilbat umat Katolik sedunia
terhadap Vatikan dengan konsep khilafah HTI sebagaimana diungkapkan Din Syamsudin,
tentu amat sangat absurd, tidak masuk akal dan mustahil.
Menyamakan keduanya hanyalah sebuah upaya cacat fakta,
mensederhanakan masalah dan pemaksaan logika. Penyamaan secara dangkal dan
sekilas, berimplikasi kepada kesimpulan salah total.
“Terutama akan berujung pada penutupan substansi keberadaan dan
ideologi yang dibawa. Kedua hal pokok tersebut sangat berbeda. Sangat mudah
bagi kita untuk melihat perbedaannya melalui ekspresi yang selama ini mereka
nyatakan di ruang publik,” kata Yohanes Nenes.
Dikatakan Yohanes Nenes, konsep khilafah diteriakkan HTI sejak
tahun 2007, dimana mengharamkan demokrasi, mengganti ideologi Pancasila dengan
paham kekhilafahan, terbukti mengundang perdebatan panjang di kalangan umat
Islam sendiri.
Buktinya, Ormas selevel Nahdatul Ulama (NU), menolak ideologi
diusung HTI di Jakarta, 7 Juli 2017. Di belakang Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdatul Ulama (PBNU), KH. Said Aqil Siradj, ada 13 Ormas Islam lainnya,
menolak HTI, yakini Al-Irsyad Al-Islamiyah.
Kemudian Al Washliyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan
Islam (Persis), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Mathla’ul Anwar, Yayasan
Az Zikra, Al-Ittihadiyah, Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Rabithah Alawiyah,
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Nahdlatul Wathan, dan Himpunan Bina
Mualaf Indonesia (HBMI). Ke-14 Ormas dimaksud desak Pemerintah bubarkan Ormas
radikal, termasuk HTI.
Paham khilafah versi HTI, menurut Yohanes Nenes, tidak sama
dengan konsep kepausan pada umat Katolik. Karena Vatikan di dunia modern ini
tidak pernah mendorong perubahan dan atau penggantian ideologi suatu Negara.
Malah Paus Johanes Paulus II, dalam kunjungan kerjanya di
Jakarta tahun 1989, sangat mengagumi Pancasila yang mampu mempersatukan Bangsa
Indonesia yang sangat beragam dari segi agama dan suku.
Paus sebagai Kepala Negara Vatikan, tidak pernah menyerukan agar
umat Katolik di seluruh dunia mengupayakan perubahan ideologi yang dianut salah
satu negara. Philipina dengan umat Katolik terbesar di Asia Tenggara, ideologi
negaranya tidak pernah diutak-atik Vatikan.
Pada konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pimpinan
tertinggi umat Katolik, juga kalangan akar rumput, tidak pernah berupaya
mengganti dasar ideologi Negara kita, Pancasila.
Bahkan Pahlawan Nasional, Mgr Albertus Soegjopranoto SJ, Uskup
Agung Semarang, di awal kemerdekaan Republik Indonesia, menyerukan agar umat
Katolik di Indonesia menjadi umat Katolik seratus persen dan warga Indonesia
seratus persen.
Dikatakan Yohanes Nenes, umat Katolik di Indonesia tidak pernah
berteriak bahwa “Vatikan-lah solusinya!” atas segala permasalahan yang terjadi di
Indonesia. Berbeda sekali dengan HTI yang selalu meneriakan “Khilafah-lah
solusinya!”.
“Kiblat umat Katolik sedunia terhadap Vatikan, sebatas
implementasi keimanan, bukan terkait gerakan politik seperti HTI. Gereja
Katolik global sangat memisahkan urusan agama dan negara (politik),” kata
Yohanes Nenes.
Diungkapkan Yohanes Nenes, Vatikan dengan amat tegas dan jelas
mengadakan pemisahan antara institusi religus dengan institusi kenegaraan.
Sangat jelas bagi umat Katolik di seluruh dunia bahwa mereka sebagai warga
negara harus taat sepenuhnya kepada hukum, nilai dan ideologi Negara di mana
mereka bernaung.
“Sudah dengan amat-sangat terang benderang bahwa Vatikan modern
memposisikan dirinya bukan sebagai institusi kenegaraan dan bukan pula sebagai
gerakan politik,” ungkap Yohanes Nenes.
Yohanes Nenes menggaribawahi pernyataan Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN) Jenderal Polisi Budi Gunawan di Jakarta, Jumat, 13 Mei 2017. Budi
Gunawan, ujar Yohanes Nenes, mengalui, HTI harus dibubarkan, karena bukan
gerakan dakwah, melainkan gerakan politik, mengganti ideologi Pancasila ke
dalam paham kehilafahan.
HTI bersama Ormas radikal lainnya, merupakan ancaman serius
terhadap 4 Pilar Kebangsaan, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
Kebhinekaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga mesti
dibubarkan.
Hizbut Tahrir sebenarnya memang berarti Partai Pembebasan,
sebuah partai”trans-nasional dengan ideologi politiknya pan-islamisme (suatu
gerakan politik untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah satu Negara
Islam).
Sayangnya, dalam banyak kasus dan literatur yang ada, gerakan
Hizbut Tahrir selalu membawa nama Islam atas dasar versi mereka sendiri,
sehigga tidak jarang sesama Muslim yang tidak sependapat dengan pandangan
mereka selalu dicap murtad, kafir, dan sebagainya.
Bahkan, setidaknya
ada 20 negara berpenduduk mayoritas Muslim di dunia yang menolak keberadaan
Hizbut Tahrir. Di antaranya seperti Turki, Mesir, Yordania, Malaysia, bahkan
Arab Saudi. (sinarharapan.net)