Rekening Setya Novanto Diungkap FBI Bersama KPK, Siapa Saksi Kuncinya? Simak!!
Sunday, 23 July 2017
Edit
Darirakyat.com -- Pasca mencuatnya kasus e-
KTP dan ditersangkkan KPK makin memperjelas bahwa Ketua DPR RI Setya Novanto
menerapkan praktik-praktik oligarki untuk menghancurkan negara. Dia ini
pengkhianat bangsa.
Novanto
seharusnya mundur demi nama baik DPR dan Golkar, demi kebaikan bangsa dan
negara. Bau amis e-KTP kian menjadi pergunjingan yang sengit ketika, ini
digulirkan ke masyarakat. Ada yang menggalang hak angket KPK dengan segala
bentuk modus curhatnya. Tetapi, apa daya, publik tidak simpatik, dengan sikap
dewan yang kontraproduktif apa yang disebut representasi rakyat.
Terlepas
dari hak angket DPR, publik beberapa hari lalu, disuguhkan dengan penetapan
tersangka Setya Novanto oleh KPK. Setya Novanto banyak yang menyebutnya belut,
licin, hukum pun tak bisa menggapainya. Humor, belut licin itu, ternyata
berhasil dipatahkan KPK, pasca penetapan tersangka terhadap Setya Novanto.
Kelihaian
dan didukung etos kerja yang tinggi KPK terus mengumpulkan bukti sebanyak
-banyaknya dalam mengungkapkan skandal e- KTP yang menelan kerugiaan negara
hampir 2, 3 triliun rupiah tersebut.
KPK
akhinya berlabuh ke negara super power, Amerika Serikat untuk mencari bukti
yang akurat menjerat Si raja belut yang berlumurkan oli ini. Licin bukan main.
Dan
ternyata berkat etos kerja yang tinggi KPK, akhirnya FBI ( Federal Bureau
of Investigation) di negara adi kuasa tersebut, KPK dengan bantuaan FBI
mengantongi data rekening Setya Novanto di Amerika Serikat.
KPK Kantongi Data Rekening Setya
Novanto di AS dengan Bantuan FBI
KPK
memperoleh bukti pendukung untuk penetapan tersangka Setya Novanto dengan
bantuan FBI _(Federal Bureau of Investigation) di Amerika Serikat._
Menurut
sumber Galaberita, dari kerjasama yang dilakukan dengan FBI itu, KPK
mendapatkan data rekening perusahaan yang digunakan Setya Novanto di negeri
Donald Trump, untuk menyembunyikan uang hasil korupsi proyek e-KTP.
Wakil
Ketua KPK, Saut Situmorang membenarkan bahwa pihaknya berkoordinasi dengan FBI
di AS. “(Tim KPK) diskusi dengan FBI dan lain-lain,” kata Saut.
Saat
di AS, penyidik KPK juga meminta keterangan Johannes Marliem, Direktur Biomorf
Lone LLC, Amerika Serikat, perusahaan penyedia layanan teknologi biometrik.
Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, Marliem disebut sebagai penyedia produk
automated finger print identification system (AFIS) merek L-1 untuk proyek
kartu tanda penduduk elektronik.
Johannes
Marliem meninggalkan Indonesia begitu proyek ini ditengarai ada masalah, hingga
menjadi korupsi e-KTP. Sejak itu, ia tinggal di Singapura dan Amerika Serikat.
Marliem
mengaku memiliki seluruh rekaman pertemuan yang ia ikuti dalam membahas proyek
megaskandal itu. Rekaman itu dibuat di setiap pertemuan, selama empat tahun
lamanya. Ia menyakini, rekaman yang disebutkan total berukuran 500 giga bita
itu bisa menjadi bukti buat menelisik korupsi yang merugikan negara hingga Rp
2,3 triliun tersebut. “Rekaman selama empat tahun” kata Marliem kepada koran Tempo.
Persidangan
tuntutan kasus korupsi e-KTP dengan tersangka Irman dan Sugiharto memunculkan
nama Johannes Marliem sebagai saksi kunci. Nama Johannes Marliem bahkan disebut
sampai 25 kali oleh jaksa KPK.
Hakim Frangki Tambuwun
menyebut Setya Novanto merupakan kunci anggaran e-KTP dalam sidang vonis dua
terdakwa e-KTP di Pengadilan Tipikor.
Kasus e-
KTP ini, menarik disimak, dimana ada satu tokoh kunci dalam kasus ini yang
berhasil KPK dapat, yakni Johanes Marliem. Memang yang diketahui bahwa,
Marliem ini, sudah 25 kali disebut jaksa KPK dalam penetapan tersangka Irman
dan Sugiarto dalam kasus e- KTP ini. Bukan main, Marliem bahkan menyakini
rekaman tersebut total 500 giga bita dalam menelisik kasus e- KTP ini.
Dalam
kasus korupsi modern, terutama yang mendalami korupsi politik, e- KTP ini
sebuah titik balik yang penting dalam genealogi korupsi. Kalau dulu, korupsi
politik dilakukan secara vulgar, sekarang korupsi dilakukan secara halus,
samar, dan nyaris tak kelihatan. Persis fenomena politik belut dalam kasus
e-KTP itu
Modus
operandinya melalui kebijakan legal. Prosedurnya formal dan tidak menyalahi
peraturan hukum manapun. Namun, dalam praktik, kebijakan itu diarahkan untuk
memperkaya segelintir orang atau kelompok tertentu, dimana pada kasus e-KTP
yang mangkrak. Legalisasi korupsi melalui kebijakan ini adalah pesan yang
paling mahal dari kasus e-KTP. Persis karakter korupsi macam inilah yang
disebut “era baru korupsi politik” oleh Gail Collins (2013).
Dengan
kehadiran tokoh kunci ini, semakin nampak aras masalah e-KTP ini. Dewan
Terhormat terutama Pansus DPR terhadap KPK pasti timbang- timbang, riak-
riaknya di media seakan tak terdengarkan lagi. Atau mungkin masih melekat
dengan Presidential treshold kemarin?
Untuk
itu, musuh kita adalah musuh demokrasi: kartel politik. Maka, perang hari ini
adalah perang melawan kelompok siluman yang bergerak samar itu, yang ingin
membajak proses demokratisasi demi kepentingan parsial. Bahkan, kekacauan
politik merupakan konsekuensi dari perang antarkartel. Perang menguasai sentrum
politik; perang membajak proses penegakan hukum; perang menumpuk kapital; dan
perang merekayasa persepsi publik.
Penggiringan
opini publik melalui berbagai peristiwa atau kasus, terutama e-KTP, sebuah
pembanding sebuah aktifitas kartel. Kartel selalu bertujuan mengatur arus
politik karena kepentingan ekonomi- politik yang dipelihara. Masuk akal juga
bahwa kekuatan laten mau mendelegitimasi KPK atau menarik individu KPK ke kanal
korupsi sistemik sebab di saat persepsi publik terhadap lembaga penegak hukum
memburuk, korupsi politik sulit diadili, dan itulah momentum kemenangan bagi
koruptor.
Pertanyaan
reflektifnya adalah akankah belut ini, semakin licin berbalut oli? Ataukah,
mati dengan sendirinya, terkapar dibalik jerugi?
Bagaimana
suasana hati dewan terhormat kita, pasca e-KTP ini nantinya terkuat dan
telanjang di permukaan publik. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana suasana
Pansus KPK ini ke depan yang beranggotakan Fahri Hamzah, Masinton Pasaribu cs
(23 Anggota DPR) dengan warna partai bermacam- macam, apakah masih memiliki
nafas, untuk tetap eksis mengangketkan KPK?
Tentu,
menghormati proses hukum sedang jalan. Asas praduga tak bersalah tetap harus
dipakai. Namun, strategi pembelaan yang mempersonifikasi lembaga DPR dan Golkar
dalam pribadi Novanto akan buruk bagi institusi tersebut.
Nanti
kita lihat bagaimana bola e- KTP menggelinding, pasca KPK berjalan seiringan
dengan FBI, Amerika Serikat mengungkapnya. Dengan saksi kunci Johanes Marliem
ini. (seword.com)