Rekening Setya Novanto Diungkap FBI Bersama KPK, Siapa Saksi Kuncinya? Simak!!

Darirakyat.com -- Pasca mencuatnya kasus e- KTP dan ditersangkkan KPK makin memperjelas bahwa Ketua DPR RI Setya Novanto menerapkan praktik-praktik oligarki untuk menghancurkan negara. Dia ini pengkhianat bangsa.

Novanto seharusnya mundur demi nama baik DPR dan Golkar, demi kebaikan bangsa dan negara. Bau amis e-KTP kian menjadi pergunjingan yang sengit ketika, ini digulirkan ke masyarakat. Ada yang menggalang hak angket KPK dengan segala bentuk modus curhatnya. Tetapi, apa daya, publik tidak simpatik, dengan sikap dewan yang kontraproduktif apa yang disebut representasi rakyat.
Terlepas dari hak angket DPR, publik beberapa hari lalu, disuguhkan dengan penetapan tersangka Setya Novanto oleh KPK. Setya Novanto banyak yang menyebutnya belut, licin, hukum pun tak bisa menggapainya. Humor, belut licin itu, ternyata berhasil dipatahkan KPK, pasca penetapan tersangka terhadap Setya Novanto.
Kelihaian dan didukung etos kerja yang tinggi KPK terus mengumpulkan bukti sebanyak -banyaknya dalam mengungkapkan skandal e- KTP yang menelan kerugiaan negara hampir 2, 3 triliun rupiah tersebut.
KPK akhinya berlabuh ke negara super power, Amerika Serikat untuk mencari bukti yang akurat menjerat Si raja belut yang berlumurkan oli ini. Licin bukan main.
Dan ternyata berkat etos kerja yang tinggi KPK, akhirnya FBI ( Federal Bureau of Investigation) di negara adi kuasa tersebut, KPK dengan bantuaan FBI mengantongi data rekening Setya Novanto di Amerika Serikat.
KPK Kantongi Data Rekening Setya Novanto di AS dengan Bantuan FBI
KPK memperoleh bukti pendukung untuk penetapan tersangka Setya Novanto dengan bantuan FBI _(Federal Bureau of Investigation) di Amerika Serikat._
Menurut sumber Galaberita, dari kerjasama yang dilakukan dengan FBI itu, KPK mendapatkan data rekening perusahaan yang digunakan Setya Novanto di negeri Donald Trump, untuk menyembunyikan uang hasil korupsi proyek e-KTP.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang membenarkan bahwa pihaknya berkoordinasi dengan FBI di AS. “(Tim KPK) diskusi dengan FBI dan lain-lain,” kata Saut.
Saat di AS, penyidik KPK juga meminta keterangan Johannes Marliem, Direktur Biomorf Lone LLC, Amerika Serikat, perusahaan penyedia layanan teknologi biometrik. Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, Marliem disebut sebagai penyedia produk automated finger print identification system (AFIS) merek L-1 untuk proyek kartu tanda penduduk elektronik.
Johannes Marliem meninggalkan Indonesia begitu proyek ini ditengarai ada masalah, hingga menjadi korupsi e-KTP. Sejak itu, ia tinggal di Singapura dan Amerika Serikat.
Marliem mengaku memiliki seluruh rekaman pertemuan yang ia ikuti dalam membahas proyek megaskandal itu. Rekaman itu dibuat di setiap pertemuan, selama empat tahun lamanya. Ia menyakini, rekaman yang disebutkan total berukuran 500 giga bita itu bisa menjadi bukti buat menelisik korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun tersebut. “Rekaman selama empat tahun” kata Marliem kepada koran Tempo.
Persidangan tuntutan kasus korupsi e-KTP dengan tersangka Irman dan Sugiharto memunculkan nama Johannes Marliem sebagai saksi kunci. Nama Johannes Marliem bahkan disebut sampai 25 kali oleh jaksa KPK.
Hakim Frangki Tambuwun menyebut Setya Novanto merupakan kunci anggaran e-KTP dalam sidang vonis dua terdakwa e-KTP di Pengadilan Tipikor.

Kasus e- KTP ini, menarik disimak, dimana ada satu tokoh kunci dalam kasus ini yang berhasil KPK dapat, yakni Johanes Marliem. Memang yang  diketahui bahwa, Marliem ini, sudah 25 kali disebut jaksa KPK dalam penetapan tersangka Irman dan Sugiarto dalam kasus e- KTP ini. Bukan main, Marliem bahkan menyakini rekaman tersebut total 500 giga bita dalam menelisik kasus e- KTP ini.
Dalam kasus korupsi modern, terutama yang mendalami korupsi politik, e- KTP ini sebuah titik balik yang penting dalam genealogi korupsi. Kalau dulu, korupsi politik dilakukan secara vulgar, sekarang korupsi dilakukan secara halus, samar, dan nyaris tak kelihatan. Persis fenomena politik belut dalam kasus e-KTP itu
Modus operandinya melalui kebijakan legal. Prosedurnya formal dan tidak menyalahi peraturan hukum manapun. Namun, dalam praktik, kebijakan itu diarahkan untuk memperkaya segelintir orang atau kelompok tertentu, dimana pada kasus e-KTP yang mangkrak. Legalisasi korupsi melalui kebijakan ini adalah pesan yang paling mahal dari kasus e-KTP. Persis karakter korupsi macam inilah yang disebut “era baru korupsi politik” oleh Gail Collins (2013).
Dengan kehadiran tokoh kunci ini, semakin nampak aras masalah e-KTP ini. Dewan Terhormat terutama Pansus DPR terhadap KPK pasti timbang- timbang, riak- riaknya di media seakan tak terdengarkan lagi. Atau mungkin masih melekat dengan Presidential treshold kemarin?
Untuk itu, musuh kita adalah musuh demokrasi: kartel politik. Maka, perang hari ini adalah perang melawan kelompok siluman yang bergerak samar itu, yang ingin membajak proses demokratisasi demi kepentingan parsial. Bahkan, kekacauan politik merupakan konsekuensi dari perang antarkartel. Perang menguasai sentrum politik; perang membajak proses penegakan hukum; perang menumpuk kapital; dan perang merekayasa persepsi publik.
Penggiringan opini publik melalui berbagai peristiwa atau kasus, terutama e-KTP, sebuah pembanding sebuah aktifitas kartel. Kartel selalu bertujuan mengatur arus politik karena kepentingan ekonomi- politik yang dipelihara. Masuk akal juga bahwa kekuatan laten mau mendelegitimasi KPK atau menarik individu KPK ke kanal korupsi sistemik sebab di saat persepsi publik terhadap lembaga penegak hukum memburuk, korupsi politik sulit diadili, dan itulah momentum kemenangan bagi koruptor.
Pertanyaan reflektifnya adalah akankah belut ini, semakin licin berbalut oli? Ataukah, mati dengan sendirinya, terkapar dibalik jerugi?
Bagaimana suasana hati dewan terhormat kita, pasca e-KTP ini nantinya terkuat dan telanjang di permukaan publik. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana suasana Pansus KPK ini ke depan yang beranggotakan Fahri Hamzah, Masinton Pasaribu cs (23 Anggota DPR) dengan warna partai bermacam- macam, apakah masih memiliki nafas, untuk tetap eksis mengangketkan KPK?
Tentu, menghormati proses hukum sedang jalan. Asas praduga tak bersalah tetap harus dipakai. Namun, strategi pembelaan yang mempersonifikasi lembaga DPR dan Golkar dalam pribadi Novanto akan buruk bagi institusi tersebut.

Nanti kita lihat bagaimana bola e- KTP menggelinding, pasca KPK berjalan seiringan dengan FBI, Amerika Serikat mengungkapnya. Dengan saksi kunci Johanes Marliem ini. (seword.com)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel