Antasari dan Hary Tanu Adalah Saksi SBY Lakukan Abuse of Power
Saturday, 29 July 2017
Edit
Darirakyat.com -- Pernyataan
SBY tentang abuse of power rupanya sudah dikonfirmasi oleh Syarif Hasan
Demokrat. Dia mengatakan bahwa pernyataan SBY adalah warning kepada pemerintah
untuk tidak menyalah gunakan kekuasaan. Sebagai Pakar Mantan tentu saya tidak
bisa tinggal diam. Ini berlebihan!
Dalam
catatan sejarah politik di Indonesia, sedikitnya ada dua kejadian yang membuat
kita semua harus sepakat bahwa SBY pada saat jadi Presiden sudah melakukan
abuse of power.
Pertama,
SBY meminta Antasari selaku ketua KPK saat itu untuk tidak menahan besannya,
Aulia Pohan, mantan Deputi Gubernur BI yang menjadi tersangka kasus korupsi.
Menurut pengakuan Antasari, Hary Tanu diutus oleh SBY untuk mendatanginya dan
menyampaikan pesan maha penting tersebut.
“waduh
Pak, saya mohon betul. Saya bisa ditendang dari Cikeas karena bagaimanapun
nanti masa depan Bapak bagaimana,” kata Antasari menirukan ucapan Hary Tanu
saat itu. Ucapan tersebut keluar karena Antasari menolak pesan yang dibawa oleh
Hary Tanu yang merupakan suruhan SBY. Antasari bersikukuh untuk tetap menangkap
besan SBY yang tersandung kasus korupsi, sesuai prosedur di KPK.
Dua
bulan setelah kejadian ini, Antasari ditangkap polisi dengan tuduhan membunuh
Nasrudin Zulkarnaen, Direktur Putra Rajawali Banjaran. Beberapa bulan lalu
Antasari sudah secara terbuka mengatakan bahwa dirinya curiga kasus tersebut
tak terlepas dari kedatangan Hary Tanu ke rumahnya yang membawa pesan penting
dari SBY.
Yang
menarik dari kejadian ini, pihak keluarga Nasrudin yang merupakan korban
pembunuhan, akhirnya malah mendukung Antasari. Padahal Antasari dituduh sebagai
pembunuhnya dan divonis hukuman penjara. Pihak keluarga sampai sekarang masih
penasaran siapa dalang di balik pembunuhan terhadap Nasrudin. Dan mereka tidak
percaya kalau Antasari yang melakukannya.
Terlepas
apakah kasus pembunuhan yang dituduhkan pada Antasari ini bagian dari abuse of
power penguasa atau bukan, namun faktanya, mengacu pada pengakuan Antasari, SBY
telah melakukan abuse of power dengan mengutus Hary Tanu kepada Antasari selaku
ketua KPK untuk tidak menahan besannya. Ini contoh yang sangat kongkrit. Sangat
jelas melewati batas. Presiden kok ngatur-ngatur KPK? Mentang-mentang penguasa?
Jadi besannya tidak boleh ditangkap?
Kedua,
pada tahun 2013 lalu, SBY melakukan konferensi pers mengenai batalnya Ketua
Umum Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB), Zannuba Ariffah Chafsoh
alias Yenny Wahid bergabung ke Partai Demokrat. SBY saat itu melakukan
konferensi pers di kantor Presiden.
Konferensi
pers tersebut jelas merupakan urusan partai, tapi disampaikan di kantor
Presiden. Nah, abuse of power itu seperti ini. Urusan partai tapi dilaksanakan
di Istana. Seharusnya kalau SBY paham tentang hak dan kewajibannya, dia
melakukan konferensi pers di kantor Demokrat, bukan malah di Istana Presiden.
Selain
dua hal ini, mungkin masih banyak lagi tindakan abuse of power yang sudah
dilakukan SBY dan tak bisa dibantah oleh siapapun. Tapi dalam artikel ini saya
cukupkan dua hal ini saja.
Sampai
di sini, ketika SBY menyinggung abuse of power, kemudian dikonfirmasi oleh
Syarif Hasan Demokrat sebagai warning pada pemerintah, jujur saya jadi
bertanya-tanya, apa SBY sedang menilai Jokowi sama seperti dirinya? Sehingga
muncul ketakutan-ketakutan semacam itu?
Dalam
hati kecil saya yang terdalam, sebenarnya kasihan juga melihat SBY yang
terlihat justru ingin jadi Presiden setelah lengser. Padahal dulu saat jadi
Presiden beneran dia sibuk bikin album dan menulis buku. Sekarang setelah tidak
jadi Presiden, justru tidak ada album baru lagi. Ini kan apa-apaan? Tapi ya
sudahlah, sepertinya memang begitu maunya SBY, ingin tetap jadi Presiden.
Yang
menjadi masalah adalah warning kepada pemerintah untuk tidak abuse of power.
Padahal apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi sehingga SBY memberi warning
seperti itu? Sebuah warning diberikan pasti karena ada tindakan yang sudah
dilakukan. Logikanya begitu. Tidak mungkin ada warning untuk kondisi normal.
Kita
semua berpikir bahwa pernyataan abuse of power itu muncul karena diputuskannya
Presidential Threshold 20 persen dalam UU pemilu 2019. Karena SBY dan Prabowo
sepakat untuk melanjutkan bahasan ini ke MK. Pertanyaannya kemudian, apakah
penetapan Presidential Threshold 20 persen ini dianggap sebuah tindakan yang
mengarah pada abuse of power sehingga perlu diingatkan? Seharusnya tidak. Sebab
Presidential Threshold dibahas terbuka di DPR.
Bahwa kemudian hasil akhirnya tidak sesuai dengan
keinginan SBY dan Prabowo, boleh diprotes dan diproses sesuai aturan yang ada.
Tapi jangan pernah mengatakan keputusan tersebut adalah bagian dari tindakan
yang mengarah pada abuse of power. Karena itu tuduhan yang tidak ada kerbau dan
kudanya. Begitulah kura-kura.(seword.com)