Untuk Mengenang 47 Tahun Wafatnya Pemimpin Besar Revolusi
Monday 26 June 2017
Edit
Darirakyat.com -- Hari ini, tepati 47 tahun yang lalu, rakyat
Indonesia kehilangan salah satu The Founding Fathers yang juga merupakan
Presiden Pertama Republik Indonesia.
Lima hari sebelumnya tanggal 16 Juni 1970
ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi.
Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik
strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan
berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah
terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Sukarno akan
dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya
berjarak lima kilometer.
Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana
untuk ukuran seorang mantan presiden, Sukarno tergolek lemah di
pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur.
Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan
mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak
dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa,
dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak
ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya.
Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun
telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong
bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan
massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat
dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan
sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar
udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Dua hari kemudian, 18 Juni 1970 Megawati, puteri
pertama dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya.
Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua
mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke
telinga manusia yang paling dicintainya ini.
“Pak, Pak, ini Ega…” (Senyap)
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga
tidak membuka. Namun kedua bibir Sukarno yang telah pecah-pecah
bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri
sulungnya itu. Sukarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi
dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin
menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk
sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Sukarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat
terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh.
Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu
tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung.
Mega segera dipapah keluar.
Keesokan hari, 19 Juni 1970 wakil presiden
Republik Indonesia pertama Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya
ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya I Wangsa Widjaja menghampiri
pembaringan Sukarno dengan sangat hati-hati.
Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya,
Sukarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi,
Sukarno berkata lemah.
“Hatta.., kau di sini..?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan
kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya
bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati,
Hatta berusaha menjawab Sukarno dengan wajar. Sedikit tersenyum
menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No..?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang
digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan
Sukarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan
kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan
lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa
mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe
gaat het met jou…? ” Bagaimana keadaanmu..?
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya
masih memegang lengan Sukarno.
Sukarno kemudian terisak bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang
kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan
perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah.
Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling
berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia
bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta
juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya
ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya
nurani.
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari
bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar
menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada
penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip
politik antara dirinya dengan Sukarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama
sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus. Hatta masih
memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi
Sukarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak
mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi.
Sukarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya.
Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun Karina, ikut
hadir menemani di rumah sakit.
Dokter Mahar Mardjono sadar ini mungkin
detik-detik terakhir hidup Putra Sang Fajar itu. Dia kemudian menghubungi
anak-anak Sukarno. Meminta mereka segera datang.
Minggu, 21 Juni 1970, pukul 06.30 WIB, Tampak
Guntur, Megawati, Sukmawati, Guruh dan Rachmawati menunggu dengan tegang kabar
ayah mereka.
Pukul 07.00 WIB, Dokter Mahar membuka pintu
kamar. Anak-anak Sukarno menyerbu masuk ke ruang perawatan. Mereka
memberondong Mahar dengan pertanyaan. Namun Mahar tak menjawab, dia hanya
menggelengkan kepala.
Pukul tujuh lewat sedikit, suster mencabut
selang makanan dan alat bantu pernapasan.
Anak-anak Sukarno mengucapkan takbir.
Megawati membisikkan dua kalimat syahadat ke
telinga ayahnya yang saat itu mengenakan sarung lurik warna merah serta baju
hem coklat, Sukarno mencoba mengikutinya. Namun kalimat itu tak selesai.
“Allaaaah…” bisik Sukarno pelan seiring
nafasnya yang terakhir.
Tangis pecah. Pukul 07.07 WIB, seorang manusia
bernama Sukarno kembali pada penciptanya. Berakhirlah tugasnya sebagai
penyambung lidah rakyat Indonesia.
Hartini, istri ke-4 Bung Karno , baru sampai di
RSPAD, sekitar pukul 08.30 WIB. Begitu melihat suami yang sangat dicintainya
itu telah tak bernapas lagi, Hartini langsung jatuh pingsan.
Setelah beberapa saat siuman, Hartini kembali
meluapkan kesedihan dan rasa kehilangannya. Dengan penuh kesedihan, Hartini
menciumi jasad suaminya yang sudah tak bernyawa itu.
Selang setengah jam kemudian, Ratna Sari Dewi
(Naoko Nemoto) istri ke-5 Bung Karno tiba di RSPAD., Kesedihan dan isak tangis
tak terbendung dari dirinya. Dewi yang datang dengan buah cintanya bersama Bung
Karno , Karina (Kartika) menangis sedih sembari menciumi jasad Bung Karno yang
sudah terbujur kaku dengan wajah bengkak serta rambut dikepala mulai terlihat
menipis
Jenasah lalu dibawa ke Wisma Yaso. Di ruangan
kamar yang masih dihiasi termos dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang
yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik seperti nyamuk terbaring sang
proklamator yang separuh hidupnya dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial
Belanda. Hanya ada Bung Hatta dan Ali Sadikin selaku Gubernur Jakarta saat itu.
Setelah Bung Karno diangkat tubuhnya dipindahkan
ke atas karpet di lantai di ruang tengah, barulah putra sulung sang proklamator
Guntur Soekarnoputra tiba di Wisma Yaso disusul dengan orang-orang yang mulai
berdatangan untu melihat yang terakhirkalinya jasad Putra Sang Fajar. Di antara
sayup-sayup suara seorang Ibu yang membacakan surat Yasin dekat jenasah Bung
Karno, terdengar Ibu Wardoyo kakak kandung Sukarno terus meratap. “Karno, kowe
kok sengsoro men.“
Meski kabar duka wafatnya Bung Karno baru
diterima Inggit Ganarsih istri kedua Bung Karno, hal itu tak
menghalanginya untuk langsung bergegas meninggalkan Bandung menuju Jakarta
untuk menemui mantan suami yang begitu dicintai hingga akhir hayatnya.
Setibanya di Wisma Yaso, Inggit menangis sedih karena pria yang dicintainya itu
telah mendahuluinya.
“Ngkus, guing Ngkus mendahului, Ngit mendoakan,”
kata Inggit dengan suara terputus-putus, seperti dikutip dari buku ‘Hari-Hari
Terakhir Sukarno’ Karya Peter Kasenda, terbitan Komunitas Bambu.
Senada dengan Inggit, mantan istri Bung Karno ,
Haryatie merasa hancur hatinya saat melihat pria yang dulu memberinya kasih
sayang kini diam dingin dengan wajah tertutup kafan. Suasana hati Haryatie
seakan ingin memberontak, menjerit dan menangis saat itu.
Namun hal itu tidak dilakukannya. Dalam hati
Haryatie berbisik kepada Soekarno . Dia meminta maaf atas semua kesalahan yang
pernah dibuatnya.
Sementara itu, Yurike Sanger, istri ke-7 Bung
Karno , menangis histeris saat melihat putra sang fajar telah membujur kaku.
Saat itu, jenazah Bung Karno sudah disemayamkan di Wisma Yaso.
Dalam buku ‘Percintaan Bung Karno dengan Anak
SMA’ karya Kadjat Adra’i, terbitan Komunitas Bambu, diceritakan, Yurike
meratapi kepergian Bung Karno . Dia meratapi wajah Bung Karno yang tersenyum
damai di balik kerudung kelambu putih itu.
“Kata orang aku tak sekadar meratap, tetapi
histeris. Aku tidak peduli. Berkali-kali kupanggil namanya hingga suaraku tak
terdengar lagi,” kata Yurike.
Berbeda dengan istri-istri Sukarno yang lain
Fatmawati istri ke tiga Bung Karno, memilih tak datang melihat jenazah
suaminya. Kalimat ‘Innalillahi Wainnaillaihi raji’un’ sontak keluar dari
mulutnya saat mendengar kabar wafatnya Bung Karno. Fatmawati menangis di
rumahnya yang terletak di Jalan Sriwijaya 26 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Rasa cemburu kepada Hartini sepertinya masih membekas di hatinya.
Tidak disangka-sangka, Pemerintah memutuskan
jenazah Sukarno disemayamkan di Wisma Yaso. Ibu Fatmawati sungguh marah dan
kecewa dengan campur tangan Pemerintah. “Tidak, tidak ada cerito. Ini
rumahnyo.“ Batin Fatma terguncang. Ia amat terpukul dan tercampak ke sudut yang
paling sunyi. Air matanya menetes. Ia berharap lelaki itu hanya mencintai
dirinya. Semua ini tercermin dari sikapnya yang memohon agar Bung Karno dapat
disemayamkan di rumahnya di Jalan Sriwijaya Kebayoran Baru. Namun Pemerintah
menolak permintaan itu.
Ketika jutaan rakyat terpaku kelu dengan duka
mendalam atas kepergian sang pemimpin besar revolusi, Fatmawati justru termangu
sunyi di rumahnya. Ibu Fat yang teguh pendiriannya karena tidak akan datang ke
Wisma Yaso – rumah Ratna Sari Dewi – hanya bisa mengirim karangan bunga. Sebuah
tulisan tangan Fatma berbunyi “Tjintamu menjiwai rakyat. Tjinta Fat“.
Sempat terjadi perundingan antara Hoegeng,
Kepala Polisi RI yang bertindak sebagai wakil keluarga Bung Karno dengan
Alamsyah Prawiranegara dan Tjokropranolo yang menjadi asisten pribadi Soeharto.
Tercium aroma politis yang kuat. Pemakaman yang
seharusnya menjadi perkara biasa dan diputuskan keluarga, ternyata menjadi
perkara politis. Sejak awal Bung Karno menginginkan dimakamkan di Bogor. Namun
Soeharto memutuskan untuk memakamkan di Blitar, dengan alasan dekat dengan
ibunda Sukarno.
Ini yang kelak menjadi justifikasi Orde Baru
dengan mengatakan kota kelahiran Bung Karno di Blitar. Alasan sesungguhnya,
Soeharto, jika Bogor menjadi makam seorang Sukarno, maka tempat ziarah itu
terlalu dekat dengan Jakarta. Secara politis itu berbahaya.
Ketika pelepasan jenazah dari Wisma Yaso menuju
Bandara Halim Perdana Kusuma, jalan sepanjang kurang lebih 10 km itu dipadati
masyarakat. Di antaranya banyak yang melelehkan air mata dan terisak-isak saat
melepas jenazah Bung Karno.
Selain itu wafatnya Bung Karno mendapat reaksi
dari para pemimpin dunia, sementara surat-surat kabar di luar negeri
memberitakannya di halaman muka. Presiden AS Richard Nixon dalam komentarnya
menyatakan, “Kepergiannya telah menandai babak baru dalam sejarah Indonesia.
Karena Sukarno merupakan bagian erat dari sejarah.”
“Ir Sukarno adalah kecintaan Rakyat Mesir dan
guru saya,” kata Presiden Gamal Abdel Nasser.
“Ia adalah seorang pejuang yang berani dalam
melawan kolonialisme,” komentar PM Malaysia Tengku Abdurahman, sekalipun ia dan
Bung Karno pernah saling bermusuhan saat berkonfrontasi.
Sukarno adalah seorang sosok pahlawan yang
sejati. Dia tidak hanya diakui berjasa bagi bangsanya sendiri tapi juga
memberikan pengabdiannya untuk kedamaian di dunia. Kita semua harus sepakat
bahwa Sukarno adalah seorang manusia luar biasa yang belum tentu dilahirkan
kembali dalam kurun waktu satu abad.
Kini telah tiada lagi manusia yang bisa membuat
dunia terdiam dengan perkataannya, tidak ada lagi singa yang sangat
ganas. Betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami Sukarno.
Terima kasih wahai Bung Karno karena telah membuat rakyat indonesia dapat
terbebas dari penjajahan yang amat pedih. Jasamu tak akan pernah
dilupakan. Dan terima kasih Allah karena engkau telah menciptakan manusia
terhebat di negara kami. Selamat jalan wahai Singa Mimbar.
Sebagai wujud hormat saya
kepada Sang Proklamator, sebelum mem-posting tulisan ini saya pejamkan
mata berdoa menurut kepercayaan saya sebagai wujud hormat dan cinta saya
kepada Pemimpin Besar Revolusi ...