Manuver Politik Ulung Ma’ruf Amin Bersihkan MUI dari Gerombolan 212




Darirakyat.com - Miftachul Akhyar terpilih menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, di mana sebelumnya posisi tersebut diduduki oleh Ma’ruf Amin yang juga merupakan seorang Wakil Presiden Indonesia.

Munas MUI dan terpilihnya Miftachul Akhyar juga disebut-sebut sebagai agenda bersih-bersih tubuh MUI dari ‘gerombolan’ PA 212 yang berada di kepengurusan.

Sebut saja Din Syansuddin, Bachtiar Nasir, Tengku Zulkarnain, dan Yusuf Muhammad Martak yang merupakan pentolan 212 dan kerap kali ‘merepotkan’ pemerintah.

Ini bukti Ma'ruf Amin tak hanya duduk manis. Dia politikus ulung yang diremehkan banyak orang.

Hal ini diulas dalam sebuah utas oleh seorang netizen di twitter dengan akun @dhiofaiz.


Dia memberikan ulasan bagaimana empat sosok tersebut tak lagi duduk di kepengurusan MUI, serta berhasil membuat MUI berada dalam lingkarannya

Selain itu, dia juga menjabarkan singkat kiprah masing-masing dari empat orang yang disebut disingkirkan dari MUI

Din Syamsudin adalah Ketua Dewan Pertimbangan MUI periode 2015-2020. Juga Ketua Umum MUI sebelum Ma'ruf Amin. Ia dikenal kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Din juga belakangan aktif di KAMI bersama Gatot Nurmantyo dan kawan-kawan.

Bachtiar Nasir menjabat Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI 2015-2020. Dia juga pernah menjabat Ketua GNPF MUI. Dia jadi salah satu aktor di balik Aksi 411 dan Aksi 212. Dua aksi itu merespons penondaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama. Hasilnya? Ahok gagal jadi Gubernur DKI.

Yusuf Muhammad Martak adalah pengganti Bachtiar di GNPF MUI. Gerakan itu berubah nama jadi GNPF Ulama dan sering berkoalisi dengan FPI dan PA 212 beberapa waktu belakangan. Di MUI 2015-2020, Martak jadi bendahara. Saat ini, ia tak ada di jajaran pimpinan MUI.

Tengku Zulkarnain pernah menjabat Wasekjen MUI di 2015-2020. Ia dikenal sebagai pendakwah ceplas-ceplos. Tak jarang ucapannya tajam tanpa sensor saat menyoal kebijakan pemerintah.

Dijelaskan, Ma'ruf menjadi pemimpin tim formatur yang terdiri dari 17 orang ulama dan berwenang menentukan siapa saja yang masuk kepengurusan MUI 2015-2020, termasuk siapa ketua umumnya.

“Kemudian Miftachul Akhyar terpilih jadi ketua umum. Siapa dia? Miftachul adalah Rais Aam PBNU. Ia menggantikan Ma'ruf di posisi itu sejak 2019. Selain itu, bisa dilihat berapa orang gerbong Ma'ruf di pucuk pimpinan MUI saat ini,” tulisnya.

“That's a wrap. So, jangan kira Abah Ma'ruf cuma duduk, nyengir, dan berdoa aja guys. Dia bermanuver dan manuvernya paten. Jadi Jokowi amanlah ya sampe 2024. Selain megang parlemen, MUI juga kayaknya ga akan jahil lima tahun ke depan,” sambungnya. 


Wajah Baru MUI, Manuver Ma'ruf Amin dan Pembersihan 212

Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode kepengurusan 2020-2025 resmi diumumkan, Rabu (26/11) malam. Sejumlah nama baru muncul, wajah lama hilang seiring pengumuman Miftachhul Achyar sebagai Ketua Umum MUI 2020-2025.

Misalnya, nama Din Syamsuddin dan sejumlah ulama identik dikaitkan dengan Aksi 212 terdepak dari kepengurusan. Nama Din digeser Ma'ruf Amin. Wakil Presiden RI itu kini mengemban jabatan Ketua Dewan Pertimbangan MUI.

Dari susunan kepengurusan yang dibuka ke publik, selain nama Din yang hilang, raib juga nama mantan bendahara Yusuf Muhammad Martak, mantan wasekjen Tengku Zulkarnain, dan mantan sekretaris Wantim Bachtiar Nasir. Keempatnya dikenal sebagai tokoh yang keras mengkritik pemerintah. Din aktif di Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dan tiga nama terakhir merupakan pentolan Aksi 212.

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai dominasi dan kekuatan Ma'ruf Amin di MUI sangat kentara. Membuka dugaan kuat campur tangan pemerintah di payung besar para ulama tersebut.

"Bisa dikatakan ada semacam campur tangan karena Ma'ruf Amin kan wapres. Tentu pemerintah ingin majelis ulama dalam kendali. Sehingga kekritisannya akan hilang dan bisa dikendalikan," ujar Ujang kepada CNNIndonesia.com, Jumat (27/11).

Seperti diketahui, kurang lebih dua tahun sejak Ma'ruf ikut dalam politik kekuasaan. Akhir 2018, ia mencalonkan diri sebagai wakil presiden bersama petahana Joko Widodo. Saat itu, ia sedang memegang jabatan sebagai Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI. Jabatan di PBNU ia tinggalkan, tapi tidak dengan jabatan di MUI.

Ma'ruf, dalam Munas MUI tahun ini, memimpin Tim Formatur yang terdiri dadi 17 ulama. Tim ini berwenang menentukan siapa saja yang akan berada di pucuk pimpinan MUI, termasuk ketua umum MUI. Ujang berpendapat skenario ini mirip seperti yang terjadi di DPR RI. Kubu pemerintah merangkul sebanyak-banyaknya rekan koalisi dan menyingkirkan yang bernada sumbang.

Ujang mengatakan MUI sangat strategis bagi pemerintah. Sebab ormas ini mengumpulkan berbagai ormas Islam dalam satu wadah. Sementara pemerintah punya masalah dengan kelompok Islam kanan yang diorkestrasi Rizieq Shihab. Dengan menggandeng MUI, kata dia, posisi pemerintah tentu akan jadi lebih aman.

"Kalau MUI tidak dipegang, akan membahayakan. Buktinya dulu zamannya Pak Ma'ruf Amin pas demo Ahok, itu kan MUI menaikkan terus," ujarnya.

Terpisah, peneliti politik LIPI Siti Zuhro menilai ada upaya penyeragaman suara di MUI. Ia membandingkannya dengan cara pemerintah Orde Baru dalam merangkul kelompok-kelompok masyarakat.

Siti melihat ada upaya kubu pendukung pemerintah untuk menyamakan suara di kalangan masyarakat. Salah satunya di MUI. Siti menyebutnya sebagai state coorporatism.

"Ini harus keluar dari state coorporatism. Semua dikooptasi, semua kekuatan yang ada dikooptasi, itu Orde Baru. Ini Orde Reformasi yang tidak sepatutnya itu," ujar Siti kepada CNNIndonesia.com, Jumat (27/11).

Ia berpendapat seharusnya kelompok-kelompok yang berbeda pandangan tidak didepak dari kepengurusan MUI. Ia menjelaskan MUI dibentuk untuk mewadahi berbagai ormas Islam.

Meski begitu, Siti menilai upaya menyingikirkan suara sumbang di MUI bukan kemenangan mutlak kubu pendukung pemerintah. Siti mengingatkan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh elite.

"Naif menurut saya memaksakan organisasi lembaga tertentu dengan penyeragaman seperti ini. Demokrasi kita partisipatoris, bukan lagi perwakilan. Masyarakat tidak lagi diwakili oleh sejumlah kalangan," tutur Siti. (pikiranrakyat dan cnnindonesia)


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel