Beda Demo Jogja dan Jakarta. Isu yang Diusung Sama, Mengapa Endingnya Beda?



Image result for demo mahasiswa di jogja hari ini
Ribuan mahasiswa mengikuti aksi #GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo, Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin 23 September 2019. Dalam aksi demonstrasi yang diikuti oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta itu, mereka menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi serta mendesak pemerintah dan DPR mencabut UU KPK yang sudah disahkan.

Darirakyat.com - Demo #GejayanMemanggil di Jogja berjalan dua kali 23 Sept dan 30 Sept, dengan aman dan damai. Tidak ada konflik secuilpun, masyarakat juga relatif tidak terganggu. Berbeda dengan di Jakarta yang dua kali demo, 24 Sept dan 30 Sept, berujung rusuh, banyak yang luka-luka baik dari masyarakat maupun aparat. Padahal seharusnya issue yang diusung tidak jauh berbeda, mengapa endingnya bisa sangat berbeda? 

Saya melihat ada beberapa hal disini:

1. Demo Jogja terstruktur rapi:

- Ada penanggungjawab kegiatan dan penanggungjawab medis untuk setiap pos
- Ada Divisi Keamanan yang screening benda terlarang, seperti batu, senjata tajam dan miras. 
Mereka juga akan screening poster yang tidak sesuai dengan kesepakatan antar mereka sebelumnya, yaitu poster provokatif, dan keluar dari tujuan utama demo. 
- Ada Divisi Medis tersendiri
- Ada pasukan pembersih, sehingga pasca demo lokasi bersih kembali
- Dokumentasi issue juga tercatat rapi di bit.ly/RakyatBergerak

Hal ini menyebabkan kepanitiaan demo di Jogja disegani oleh masyarakat yang turut bergabung dalam demo. Mereka tidak mau melanggar kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. 

Saya tidak melihat hal yang serupa di Jakarta. Jakarta sangat tidak terorganisir. Ketika terjadi kericuhan, mereka yang mengajak demo, ramai-ramai lepas tangan. 

2. Ide mengerahkan anak SMK/SMA di Jakarta, justru ditentang habis di Jogja. 

Kalau di Jakarta, anak-anak STM dikompori dengan #STMBergerak, seolah mereka ditahbiskan sebagai tukang pukul, maka tidak demikian di Jogja. Dinas pendidikan, sekolah, wali murid, orangtua sudah bersiaga sebelumnya untuk memastikan anak didiknya tidak turun ke jalan. Dan kalaupun ada yang ikut demo, dan jumlahnya relatif sedikit, mereka harus ikut cara kakaknya yang damai.

Ini berbeda dengan di Jakarta, dimana kita melihat sebagian anak-anak sekolah yang menjadi perusuh ketika demo, seolah demo menjadi sarana yang ditolerir untuk pelampiasan kenakalan masa remaja.

3. Demo di Jogja dimulai dan diakhiri dengan tertib. 

Jam 12 massa mulai berkumpul, dan jam 16, massa sudah mulai bubar. Sehingga sebelum matahari terbenam, lokasi demo sudah semakin longgar, dan sampah-sampah sudah bersih kembali. Saya melihat pendemo Jogja lebih mengarah kepada substansi, bahwa ketika suara sudah tersampaikan, para pihak sudah mendengar, pemerintah, DPRD, media, masyarakat, mereka tahu kapan harus berkata "cukup". Tidak harus dengan memaksa masuk ruangan DPRD atau pemerintah. Masih selalu ada hari lain untuk menyampaikan aspirasi dengan tetap menjaga kedamaian. 

Secara psikologis tentu saja sangat penting untuk memastikan tertibnya waktu berdemonstrasi ini. Kerusuhan di Jakarta terjadi setelah terbenamnya matahari, ketika orang-orang baik pendemo maupun aparat yang berjaga sama-sama lelah, emosi semakin sulit dikendalikan. Dan di malam itu, potensi penyusup yang ingin mengacaukan suasana semakin terbuka.

Sepatutnya penanggungjawab demo Jakarta memahami hal ini, apalagi sebelumnya sudah terjadi kerusuhan pasca demo, tidak sepatutnya memaksakan waktu demo hingga lewat dari terbenamnya matahari.

4. Pendekatan kultural

Sebelum demo, mahasiswa di Jogja silaturahmi dahulu kepada lingkungan RT dan RW untuk menyampaikan maksud dan meminta ijin. Masyarakat bukannya menolak, sebagian dari mereka mengumpulkan makanan dan minuman secara spontan.

Saya kurang tahu, bagaimana di Jakarta, namun sepertinya di kota dengan kultur guyub yang semakin tergerus, upaya seperti di Jogja akan lebih sulit dilakukan.

5. Koordinasi dengan Kepolisian Daerah DIY yang sangat baik

Terjalin mutual respect antara penyelenggara demo dan Polda DIY, bahkan rekan-rekan Polda ikut berbaur dengan pendemo. Setelah aksi demo, terlihat pendemo salaman dengan aparat, ini menunjukkan timbal balik kepercayaan yang kuat diantara mereka.

Jakarta, sayangnya, sebelum demo, sudah ada narasi-narasi di medsos yang memposisikan polisi sebagai "musuh". Sehingga yang terjadi bukan lagi mencari substansi demo itu sendiri, tetapi adu ego yang berujung kekerasan yang patut disayangkan. Apalagi disertai dengan rusaknya banyak fasilitas publik, bahkan properti milik masyarakat. Belum termasuk berapa banyak yang harus mendapatkan perawatan karena luka-luka.

Kesimpulan saya, dari sudut pandang pelaksanaan demo, pengelolaan issue dan dampak ke masyarakat, ketertiban, Jakarta masih harus belajar banyak dari kawan-kawan di Jogja.



(Sumber: Facebook M. Jawy)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel