Yang di KPK Bukan Kelompok Taliban Tapi Kelompok Islamis


Darirakyat.com - Saya cuma ingin berbagi pengetahuan berdasarkan percakapan saya dengan kawan-kawan pemerhati KPK dan bacaan saya mengenai KPK. Terutama soal: adakah Taliban di KPK?


Kalau Taliban diartikan sebagai kaum radikal dan ekstremis. tentu tidak ada kelompok seperti itu di KPK.

Yang jadi masalah di KPK bukanlah kaum Taliban. Yang jadi masalah adalah penguatan kaum Islamis.

Istilah Islamis lazim digunakan untuk merujuk pada orang-orang Islam yang memperjuangkan penegakan syariah berdasarkan aturan Al Quran dan Sunnah/Hadits di semua lini kehidupan.

Mereka adalah kalangan yang percaya bahwa Indonesia seharusnya menjadi negara Islam dan dipimpin oleh pemerintahan Islam.

Kaum Islamis dalam 20 tahun terakhir berusaha menguasai lembaga-lembaga strategis di negara: kementerian, lembaga negara independen, organisasi Islam, masjid, sekolah, universitas, Badan Eksekutif Mahasiswa, instansi pemerintah, BUMN, partai dst.

Begitu juga di KPK.

Kaum Islamis saat ini belum bisa menguasai pimpinan KPK, karena para pimpinan KPK dipilih oleh DPR yang tidak didominasi orang-orang seideologis mereka. Tapi mereka bisa sangat aktif di lapisan-lapisan lebih bawah.

Banyak kaum Islamis ini ditemukan di jajaran pegawai KPK, baik di kalangan penyidik/penyelidik maupun pegawai lainnya.

Jumlahnya mungkin tidak mayoritas. Tapi sangat aktif dan kencang suaranya. Menurut seorang sumber, mereka kira-kira 25% dari seluruh pegawai KPK. Tapi mereka aktif mengorganisir diri dan berpolitik di dalam kantor KPK. Sementara yang Islam moderat dan Kristen, tidak.

Para pegawai Islamis inilah yang di saat PilGub DKI 2016/2017 terlibat dalam gerakan 212. Merekalah yang mengundang ustad-ustad Islamis ke masjid KPK, termasuk ustad Zulkarnaen yang legendaris itu. Mereka yang membangun imej bahwa KPK semakin Islami: yang cowok, seperti Novel Baswedan, mengenakan peci putih; ada yang bercelana cingkrang, berjenggot, pas azan langsung berbondong-bondong sholat, bikin pengajian dst.

Kecurigaan terhadap kelompok ini tidak bisa dilepaskan dari konteks ancaman kaum Islamis lebih luas di Indonesia. Ketika kaum Islamis ini nampak semakin menguat di Indonesia, dengan segera banyak orang kuatir bahwa akan ada Islamisasi di KPK.

Mereka terutama bergabung dalam Badan Amil Islam KPK (BAIK). Sekadar catatan: para pegawai Kristen juga punya wadah: lembaga Oikumene.

Kelompok Islamis ini kemudian menemukan wadah untuk menunjukkan eksitensi mereka, yakni Wadah Pegawai (WP). Lembaga non-struktural secara perlahan didominasi oleh kaum Islamis. Ketuanya pada 2016-2018 adalah Novel Baswedan. Dan sejak 2018, diketuai oleh Yudi Purnomo.

Novel sendiri kabarnya bukan bertipe radikal. Tapi dia memang kecewa karena Presiden Jokowi dianggapnya tidak serius memerintahkan anakbuahnya membongkar kasus penyiraman air keras ke wajahnya beberapa tahun lalu. Novel menduga aksi kekerasan itu dilakukan oleh petinggi POLRI. Tidak berlanjutnya pembongkaran kasus penyerangan itu seperti semakin mengukuhkan tuduhan bahwa Jokowi memilih berada bersama polisi ketimbang KPK sipil. Apalagi kemudian, kaum Islamis terus mendekati dan berada di belakang Novel. Oh ya jangan lupa, Novel didatangi juga oleh sang Gubernur DKI yang sesama Baswedan. Lengkaplah sudah.

WP ini bukan sekadar menjadi lembaga komunikasi pegawai KPK, tapi juga menjadi kelompok penekan terhadap pimpinan KPK. Mereka sangat aktif menyuarakan kepentingan mereka, yang dalam beberapa kasus mengganggu kerja KPK sebagai lembaga, dan bahkan seperti mengabaikan otoritas pimpinan KPK.

Contoh yang dulu meledak adalah perseteruan Novel Baswedan (sebagai Ketua WP) dengan Aris Budiman (Direktur Penyidikan KPK). Novel tidak setuju dengan keputusan Aris merekrut tenaga penyidik dari kepolisian. Dia berkirim email pada Aris dengan kalimat, kurang lebih, “Anda adalah penyidik terburuk dalam sejarah KPK”. Celakanya, email itu kemudian tersebar ke berbagai media. Kabarnya, yang menyebarkan email tersebut pada media adalah WP. Gara-gara email itu, hubungan antara penyidik/penyelidik kepolisian dan non-kepolisian meruncing. KPK seperti terbelah.

Ketua WP yang sekarang, Yudhi Purnomo, tidak kalah tajam. Dia mengatakan: “Wadah Pegawai tidak cuma berani ke koruptor, tapi juga ke atasan”. Tahun lalu, WP menggugat keputusan pimpinan KPK merotasi pegawai ke PTUN. WP pula yang aktif melakukan serangkaian aksi protes dalam proses pemilihan anggota KPK dan Revisi UU KPK.

Pembesaran kekuatan WP yang didominasi kaum Islamis inilah yang turut mendorong lahirnya narasi Taliban di KPK seperti yang diramaikan kemudian. Apalagi kelompok-kelompok Islamis ini memang tidak sungkan menunjukkan identitas ideologis mereka. Ketika berunjuk rasa di KPK, mereka dengan lantang bertakbir: “Allahu Akbar!”.

Persoalannya juga, para pimpinan KPK seperti tidak berdaya menghadapi pembesaran kekuatan WP. Kewibawaan pimpinan KPK di hadapan WP terkesan rendah.

Nah fakta bahwa memang ada kelompok Islamis yang aktif bergerak inilah yang kini dijadikan bukti oleh mereka yang berusaha menggolkan Revisi UU KPK dan mengarahkan proses pemilihan pimpinan KPK bahwa KPK tidak lagi independen dari kepentingan-kepentingan poi dan ideologis di luar KPK.

Kehadiran kaum Islamis jadi (salah satu) jalan masuk bagi pengendalian kewenangan KPK.

Sebagai orang yang sedang mempelajari gerak kaum Islamis di Indonesia, saya merasa tidak berlebihan kalau ada tuduhan bahwa kekuatan kaum Islamis menguat di KPK. Ini terjadi banyak lembaga lain. Dan tanda-tandanya jelas terlihat juga di KPK. Dan itu harus dihentikan.

Kaum Islamis bukanlah sekadar kelompok pengajian atau kelompok yang bersatu karena kesamaan agama. Kelompok Islamis memang memiliki agenda untuk menegakkan Syariah di Indonesia. Mereka memandang persatuan yang harus ditegakkan adalah persatuan umat Islam, bukan persatuan bangsa.Dan karena itu mereka harus merebut kekuasaan di lembaga-lembaga strategis di Indonesia. Kaum Islamis, menurut saya, adalah kanker.

Tapi pada akhirnya, kita juga tentu tidak ingin bila kemudian kekuatiran ini berujung pada pemandulan independensi KPK. Kita tidak ingin bila kekuatiran ini membuat upaya pengendalian kaum Islamis menyebabkan KPK justru mengalami kesulitan dalam perang melawan korupsi.

Bagi saya, perang melawan korupsi dan perang melawan Islamis adalah dua agenda perang terpenting Indonesia saat ini.


Kaum Islamis jelas ada di KPK. Tapi itu tidak boleh menjadi alasan bagi pelemahan KPK. (Ade Armando)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel