Jadi Tersangka Rasisme, Tri Susanti Terancam Pasal Berlapis. Surabaya Sedih Memiliki Wanita Penyulut Kerusuhan Rasis






Darirakyat.com - Tri Susanti resmi ditetapkan tersangka dalam insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur. Ia diduga melakukan ujaran kebencian bermuatan Sara dan penghasutan dan atau hoaks


"Yang bersangkutan menjadi tersangka karena diduga melakukan ujaran kebencian bermuatan Sara dan penghasutan dan atau hoaks," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo saat dihubungi, Rabu, 28 Agustus 2019.

Penetapan Susi sebagai tersangka dilakukan setelah penyidik melakukan gelar perkara dan memeriksa sebanyak 16 saksi dan 7 ahli. Adapun ahlinya yaitu ahli bahasa, ahli pidana, ahli ITE, ahli sosiologi, ahli antropologi dan ahli komunikasi.

"Setelah ditetapkan tersangka, penyidik mengajukan permohonan pencekalan," kata Dedi. Adapun barang bukti yang diamankan yaitu konten video elektronik berita media televisi terkait pernyataan TS, rekam jejak digital, konten video dan narasi yang viral di berbagai media sosial.

Susi pun terancam dijerat pasal berlapis yakni Pasal 45A ayat 2 jo pasal 28 ayat 2 Undang undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas undang undang No 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) dan atau Pasal 4 UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis & Etnis dan atau Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 14 ayat 1 dan atau ayat 2 dan atau Pasal 15 tentang peraturan hukum pidana.

Pada Sabtu, 17 Agustus 2019 sekelompok massa dari berbagai ormas mengepung asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Insiden pengepungan ini dipicu isu soal bendera Merah Putih yang dibuang ke selokan oleh penghuni asrama.

Pada saat pengepungan itulah terjadi aksi rasisme dan persekusi terhadap mahasiswa Papua. Insiden inilah yang diduga memicu berbagai aksi unjuk rasa hingga hari ini di Papua.


Surabaya Sedih Memiliki Mak Tri Susanti Penyulut Kerusuhan Rasis
Penulis mengawali dengan pernyataan KH Said Aqil Siradj, untuk mengingatkan segenap warga bangsa yang ada dan hidup di bumi nusantara tercinta ini, bahwa kita telah terikat oleh kebinekaan warna kulit, budaya, bahasa, tradisi, dan agama, tetapi tetap ada dalam satu rumah Indonesia.

Tidak boleh mencaci perbedaan warna kulit, budaya, bahasa, tradisi, dan perbedaan agama, pesan KH Said Aqil Siradj dalam Kongres III Pencak Silat NU Pagar Nusa di Padepokan Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.

Surabaya kota metropolitan kedua setelah Jakarta, dimana penulis memiliki kebanggaan tersendiri terhadap kota pahlawan ini. Kota yang tingkat toleransi antar warganya begitu tinggi, adanya hanya saling menghormati dan saling menghargai. Kota yang warganya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama dengan benar. Jarang dan bahkan tidak pernah terdengar yang menjadi mayoritas menekan yang minoritas. Inilah yang menjadikan kota Surabaya selalu kondusif dalam kehidupan masyarakanya. Kota yang warganya menolak dengan keras masuknya ormas-ormas radikal (FPI dan sejenisnya) yang hanya akan membuat gaduh dan rusuh. Kota yang warganya sangat menghargai sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan, sehingga yang ada dalam setiap dada warga Surabaya hanyalah NKRI yang tidak bisa lagi ditawar-tawar. Penulis sebagai seorang minoritas merasakan sendiri bagaimana kondusifnya kehidupan antarumat. Tidak akan berani ormas radikal seperti FPI dengan semaunya sendiri melakukan aksi di kota surabaya ini, mereka akan berpikir dua kali, karena Jawa Timur merupakan representasi dari kekuatan Islam Moderat yang menjadi penyangga keutuhan bangsa, pembela Pancasila dan NKRI. Jawa Timur khususnya Surabaya sangat menjaga perdamaian ketentraman dan kenyamanan.

Langsung pada inti permasalahan bahwa sebenarnya Mak Tri Susanti ini dijadikan tersangka karena sebagai korlap aksi yang mendatangi asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya memantik kerusuhan, dan bahkan merembet ke berbagai daerah, terutama di Manokwari Papua Barat.

Tri Susanti dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 4 UU 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Etnis dan/atau Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan/atau ayat 2 dan/atau Pasal 15 KUHP. Selain dijadikan tersangka, kepolisian juga telah mengajukan permohonan pencegahan dan penangkalan berpergian ke luar negeri.

Inilah yang menyedihkan hati Surabaya, ternyata kegagalan menjadi caleg dan sikap pura-pura mencintai Indonesia, telah membutakan mata hati dan mematikan nalar berpikir seorang perempuan “Mak Tri Susanti”. Kegagalannya menjadi celeg Gerindra telah membuat sakit hati berkepanjangan, hancurnya impian untuk menikmati kursi yang terhormat dengan gaji berlimpah, menjadikan Mak Tri Susanti membenci negaranya sendiri. Sebuah kebencian rasisme yang terbungkus kepura-puraan cinta tanah air, berakibat pada meletusnya kerusuhan di Manokwari, Papua Barat. Warga Papua terusik harga diri dan martabatnya, merembet pada aksi-aksi unjuk rasa di berbagai daerah. Kemudian oleh beberapa oknum yang ladang bisnisnya ada di Papua, dimanfaatkan untuk mencoba menggoyang kekuasaan pemerintah.

Hasutan rasisme Mak Tri Susanti telah menjadi bisul kondusifnya kota Surabaya, nasionalisme pura-pura yang ditunjukkannya telah memantik perpecahan kebinekaan Indonesia.

Namun, kini Mak Tri Susanti tidak dapat berkelit lagi dari kejaran hukum yang berlaku di Indonesia. Mak Tri Susanti harus mempertanggungjawabkan dampak “bisa beracun” yang keluar dari mulutnya yang berupa ujaran kebencian dan rasisme. Mulut-mulut dengan ujaran rasisme memang harus ditampar dengan undang-undang, individu pemantik kerusuhan juga harus dikejar dengan hukum yang berlaku. Mak Tri Susanti lebih memilih tinggal dalam penjara yang pengab, padahal sesunguhnya anak cucu di rumah menantikan kehadirannya sebagai panutan. Hukuman setimpal harus diberikan mengingat efek retaknya persatuan dan kesatuan yang ditimbulkan dari ujaran rasis yang atas mahasiswa Papua. Setidaknya apa yang dilakukan Mak Tri Susanti, caleg gagal Gerindra ini, menjadikan stabilitas keamanan dan kenyamanan hidup di masyarakat agak terganggu. Mak Tri Susanti, menjadi sosok munafik, sok mengaku cinta tanah air Indonesia, tetapi menghasut masyarakat dengan rasisme juga ujaran-ujaran kebencian.

Jika kita lihat dari jejak digitalnya, maka Mak Tri Susanti ini selalu ada dalam setiap demo, apapun demonya. Tetapi sungguh disayangkan, sebagai koordinator lapangan (korlap) Tri Susanti tidak mampu mengendalikan massanya yang cenderung anarkhis, karena di lapangan terdeteksi pula keterlibatan dan keberingasan ormas FPI.

Ada sejumlah bukti yang dijadikan dasar polisi menetapkan tersangka. Antara lain rekam jejak digital berupa konten video hingga berbagai narasi yang tersebar di media sosial.

(tempo.co dan Bamswongsokarto/seword.com)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel