Ust. Maheer at-Thuwailibi Samakan 5 Polisi Yang Tewas Di Rutan Mako Brimob Dengan Gerombolan Monyet Berseragam Bencong, Ini Respon Keras Kombes Pol Sabilul Alif
Friday, 11 May 2018
Edit
Darirakyat.com - Dakwah
Ustad Maheer at-Thuwailibi, Metafor yang Merendahkan Kemanusiaan
Di tengah suasana duka atas gugurnya 5 anggota Polri pada
insiden di Rutan Mako Brimob, ada seorang yang bergelar ustad membuat statment,
yang bagi kami cukup menyakitkan.
Melalui akun facebook Ustad Maheer at-Thuwalibi,
ia menuliskan bahwa peristiwa di Rutan Mako Brimob adalah peristiwa yang
menggembirakan. Gugurnya bhayangkara seolah begitu indah seindah pagi hari saat
Idul Fitri.
Dalam tulisannya, sang
ustad memang banyak menggunakan ungkapan metafor. Ia menulis "gerombolan
monyet berseragam bencong", "pahlawan dari bumi lancang kuning gugur
dijemput makhluk surgawi ke alam keabadian abadi".
Namun, ragam gaya bahasa yang digunakan kiranya sangat cukup
bagi publik untuk menerka kemana arah tulisan sang ustad. Ia membuat dikotomi
bengis, yakni "pasukan berjubahkan pahlawan" dan "gerombolan
monyet berseragam bencong".
Beberapa waktu lalu, sang ustad juga pernah memetaforkan
polisi dengan sebutan "monyet berseragam cokelat". Maka, saat ia
menyebut "gerombolan monyet", kiranya tak sulit menebak bahwa yang ia
maksud adalah aparat kepolisian.
Tulisan itu jelas adalah bentuk glorifikasi atau pengagungan
atas tindakan terorisme. Sikap seperti itulah yang makin merekahkan paham
radikal dan gerakan teror di Indonesia.
Dengan congkak ia mengilustrasikan meninggalnya teroris
dengan predikat "pahlawan dari bumi lancang kuning gugur dijemput makhluk
surgawi ke alam keabadian abadi". Sedangkan, bagi anggota Polri yang gugur
ia menyebut "monyet berseragam bencong dikabarkan tewas mengenaskan".
Meninggalnya anggota Polri ia sambut dengan ucapan tahmid. Ia
mengucap "alhamdulillah" atas gugurnya anggota Polri dalam tugas.
Saya bertanya, di mana sisi kemanusiaan sang ustad? Jika pun tak suka dengan
polisi, apakah pantas menyebutnya dengan "monyet"? Bukankah seorang
ustad harusnya berdakwah dengan penuh hikmah, tutur kata yang santun?
Dan, apakah pantas
mengucap "alhamdulillah" untuk kematian orang lain? Andai misalnya,
rumah tetangga saya kebakaran dan rumah saya tidak, pantaskah saya mengucap
"alhamdulillah"? Apalagi, mengucap "alhamdulillah" untuk
merayakan wafatnya sesama manusia yang bekerja untuk negara, menafkahsi anak
dan istrinya?
Bukankah ucapan tahmid itu lebih kepada merendahkan harkat
dan martabat manusia sekaligus keagungan Yang Maha Kuasa ketimbang pujian kepada-Nya?
Betapa bahagianya sang ustad atas peristiwa itu. Ia luput
memikirkan perasaan keluarga korban, anak korban, istri korban, bahkan salah
satu anggota yang gugur, anaknya lahir sehari setelah ia wafat. Bagaimana Islam
bisa begitu bengis dan antagonis di pikiran sang ustad itu?
Sang ustad pun melabelkan predikat munafik kepada siapa pun
yang tak gembira atas insiden itu. Di tangan dan mulut ustad seperti ini,
lihatlah Islam yang rahmatan lil 'alamin menjadi dipersepsikan angkuh, congkak,
jemawa, dan tak berperikemanusiaan. Bagaimana mungkin kita harus bergembira
atas kematian saudara kita?
Ia menyebut, meninggalnya anggota akan mengurangi jumlah
anggota yang, kata si ustad, eksistensi Polri hanya menyebarkan marabahaya bagi
kehidupan manusia dan peradaban dunia.
Bagi saya, dan bagi yang berpikiran waras, yang harus
berkurang adalah populasi pemikiran dan sikap seperti yang sang ustad
pertontonkan. Maka, saya pun heran saat sang ustad justru kabarnya akan diberi
panggung oleh salah satu stasiun televisi swasta pada Ramadan nanti.
Bayangkan, di layar kaca ia mendapat kesempatan mengakses
untuk menyebarkan pahamnya yang kurang ajar itu ke seluruh penjuru negeri. Tua,
muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, dan siapa saja bisa terkontaminasi
pemikiran kotornya.
Jika ia meyakini bahwa gerakan teror adalah gerakan jihad,
kenapa tidak ia yang paling pertama menjemput kematian? Bila ia mengamalkan
bahwa membunuh jaminannya surga, kenapa bukan ia yang berangkat terlebih dahulu
kesana?
Justru, ia malah meracuni orang-orang yang punya niat tulus
belajar agama. Ia korban jiwa-jiwa yang sedang mencari Tuhan demi ambisi
membunuh sesama manusia.
Padahal, seorang yang berilmu yang fanatik terhadap suatu
mazhab (pemahaman/ajaran) maka keadaan orang berilmu itu jauh lebih buruk
daripada orang bodoh. Karena, saat ia secara aktif fanatik pada pemahamannya,
ia sebenarnya tidak sedang fanatik terhadap Islam melainkan fanatik terhadap
pemahamannya.
Maka, menolak pemikiran sang ustad bukan berarti menolak
ajaran Islam. Memerangi gerakan radikal dan teroris bukan sedang memerangi
Islam. Dan mengutuk aksi teror tidak sedang mengutuk Islam.
Sebab, pemikiran radikal bukan pemikiran Islam. Paham radikal
dan gerakan teror sama sekali tidak merepresentasikan Islam. Oleh karena itu,
kami berharap agar pihak stasiun Tv meninjau ulang kebijakkannya memberi slot
kepada sang ustad.
Masih banyak dai yang dakwahnya sejuk yang dapat mendamaikan
sekaligus mempersatukan Indonesia. Salam
Sumber: Dikutip Beraninews.com dari akun FP
Kombes Pol M. Sabilul Alif, SH, SIK, MSI