Gara Gara Ahok Dipenjara & Banyaknya Ormas Radikal , Amerika Serikat Rilis Laporan Tahunan, Isinya Bikin Ngelus Dada
Wednesday, 30 May 2018
Edit
Darirakyat.com - Departemen
Luar Negeri Amerika Serikat, Selasa (29/5/18), mengeluarkan Laporan Tahunan
Kebebasan Beragama yang menyoroti pencapaian dan sekaligus kemunduran kondisi
kebebasan beragama di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Vonis terhadap Ahok, pemberlakuan syariah Islam di beberapa
daerah dan keberadaan organisasi massa radikal menjadi sorotan.
Di antara ratusan lembar Laporan Tahunan
Kebebasan Beragama yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika di
Washington DC, ada 14 halaman yang khusus menyoroti Indonesia.
Seperti diberitakan VoA
Indonesia, Rabu (30/5/2018), beberapa sorotan utama, antara lain tentang vonis
dua tahun penjara terhadap mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama
alias Ahok yang dinilai bersalah melakukan penistaan agama Islam, vonis antara
3-5 tahun penjara terhadap tiga pemimpin senior kelompok Gafatar yang juga
dinilai telah menista Islam, dan pemberlakuan hukuman cambuk di hadapan publik
di Aceh sebagai penerapan hukum Syariah.
Laporan itu juga menyorot pembatasan kelompok Ahmadiah dan
Syiah yang berlanjut dengan pengusiran paksa, diskriminasi dan pengrusakan
tempat-tempat ibadah mereka.
Keberadaan kelompok-kelompok yang disebut sebagai
"kelompok intoleran" seperti Front Pembela Islam FPI, Forum Umat
Islam (FUI), Front Jihad Islam (FJI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan
lain-lain juga disebut dalam laporan tersebut.
Kebebasan Beragama di Indonesia Disorot
Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace ICRP Dr.
Musdah Mulia yang dihubungi VOA melalui telepon mengatakan tidak heran dengan
luasnya sorotan terhadap Indonesia.
Menurut Musdah, laporan Departemen Luar Negeri AS senada
dengan laporan tahunan ICRP.
"Saya tidak kaget karena memang hal-hal yang disorot itu
mencoreng nama baik Indonesia dan sayangnya terjadi di jaman pemerintahan
Jokowi yang kita kenal telah berupaya keras melakukan reformasi di segala
bidang," kata Musdah.
"Tetapi memang tidak bisa dipungkiri ada elemen di dalam
pemerintahan yang tidak konsisten memperjuangkan masalah HAM, termasuk kebebasan
beragama," kata dia menambahkan.
Reinterpretasi Ajaran Agama
Katib Am PBNU KH. Yahya Staquf menilai laporan yang
memprihatinkan seperti ini sedianya makin mendorong perlunya
merekontekstualisasi atau mereinterpretasi ajaran-ajaran agama.
Meski ada dukungan kuat untuk memperjuangkan agama, menurut
Yahya, upaya itu selalu mendapat tantangan dari pihak Islam sendiri.
"Ada kelompok Islam yang maunya Islam saja. Ini terjadi
sejak zaman Soekarno, dan hingga sekarang pergulatannya belum juga
selesai," kata Yahya.
"Oleh karena itu saya, dan bahkan almarhum Gus Dur dulu,
selalu memperjuangkan rekontekstualisasi ajaran-ajaran Islam supaya lebih
mengarah pada pengakuan pentingnya kebebasan beragama. Jika tidak
direkontekstualisasi maka selamanya akan menjadi masalah," papar Yahya.
Ketika berbicara dengan VOA minggu lalu terkait pertemuannya
dengan Wakil Presiden Amerika Mike Pence di Washington DC pada 24 Mei lalu,
Yahya Staquf mencontohkan beberapa ajaran atau pemahaman yang perlu
diredefinisi itu. Antara lain soal pemahaman bahwa orang kafir adalah musuh,
atau perlunya membentuk kekhalifahan.
"Ada sebagian umat Islam yang tidak jujur melihat
masalah. Ada elemen-elemen yang sampai sekarang masih dianggap sebagai ajaran
agama, yang sebenarnya tidak sesuai lagi saat ini," kata Yahya.
"Misalnya ajaran atau pemahaman bahwa orang kafir adalah
musuh. Ini masih ada dalam mindset sebagian besar umat Islam dan ini harus
diubah. Kita tidak bisa lagi hidup bermusuhan," kata Yahya menjelaskan.
"Atau pemahaman bahwa umat Islam harus punya khalifah,
ini ada dalam kitab-kitab klasik. Ini tidak bisa lagi dilakukan, sebagaimana
yang diperjuangkan Hizbut Tahrir Indonesia HTI, karena jika dituruti maka
risikonya adalah timbulnya kekacauan global."
Ilmuwan Prof. Dr. Komarudin Hidayat menilai hal ini terus
berulang karena agama masih menjadi aset mobilisasi politik. Di Indonesia,
menurut Komarudin, agama dan negara belum bisa dipisahkan.
"Maka siapa pun yang ingin meniti karir politik, maka ia
akan memberi "gula-gula" kebijakan atau aturan agama yang menggiurkan
pada umat beragama," kata Komarudin. "Inilah model demokrasi di
Indonesia, lain halnya dengan demokrasi yang ada di Amerika yang sudah terpisah
sama sekali antara agama dan negara."
Dr. Musdah Mulia menilai pragmatisme politik ini suatu hal
yang berbahaya bagi kelangsungan NKRI dan demokrasi.
''Saya menyesalkan masih kentalnya pragmatisme politik untuk
mengatasi isu-isu seperti kebebasan beragama. Termasuk menjadikan agama sebagai
tawar menawar politik," kata Musdah.
"Mungkin para tokoh menilai tidak perlu memperjuangkan
hak kelompok minoritas misalnya karena berapa banyak si suara mereka dalam
pemilu. Sikap pragmatis seperti ini berbahaya bagi kelangsungan NKRI dan
demokrasi di Indonesia," ujar Musdah menegaskan.
Namun Katib Am PBNU KH. Yahya Staquf tetap optimis dengan
kemampuan masyarakat sipil Indonesia melawan penyalahgunaan agama demi tujuan
politik. Ia mencontohkan kasus Ahok.
"Ahok ini korban dari itu. Ada kelompok politik yang
berkepentingan dalam persaingan politik dan secara sengaja menggunakan Islam
sebagai senjata. Ini memang berbahaya," kata Yahya. "Tetapi yakin lah
selama ini pun kebhinekaan, keberagaman dll selalu menang."
"Kasus Ahok membuktikan bahwa kita berhasil mengalahkan
kelompok-kelompok garis keras ini kok, karena pada akhirnya mereka tidak mampu
mengembangkan konsolidasi lebih lanjut karena manuver-manuver berbagai pihak
untuk melawan mereka. Kita bisa lihat bagaimana kekuatan kelompok garis keras
justru menurun, mereka tidak bisa konsolidasi lebih lanjut. Tetapi jika tidak
dilakukan upaya berskala global untuk mengatasi yang seperti ini, maka akan
terus muncul."
Kongres Ulama Perempuan Indonesia Disorot
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama yang dikeluarkan Menteri
Luar Negeri Amerika Mike Pompeo bersama Duta Besar Luar Biasa Untuk Isu
Kebebasan Beragama Internasional Sam Brownback pada Selasa (29/5), juga memuji
munculnya suara-suara lain dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan isu yang
terkait dengannya.
Antara lain Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang
dilangsungkan April 2016.KUPI menghasilkan sejumlah fatwa penting, antara lain
kriminalisasi perkosaan dalam pernikahan dan menaikkan batas usia kawin bagi
perempuan dari 16 menjadi 18 tahun untuk mengatasi tingginya tingkat pernikahan
anak.
Prof. Dr. Komarudin Hidayat mengatakan meski tampak ada
pembatasan, peran perempuan di Indonesia memang jauh lebih maju dibanding di
negara lain.
"Peran perempuan di Indonesia jauh lebih maju dibanding
di Timur Tengah dan bahkan Barat, hanya prakteknya bertahap," kata
Komarudin.
Dr. Musdah Mulia menilai tetap perlu dukungan negara untuk
mendorong peningkatan peran dan suara perempuan.
''Masih perlu ada dukungan realisasi lebih lanjut karena
meskipun kita sudah berjuang, kita butuh dukungan yang lebih besar dari negara.
Banyak langkah positif yang dilakukan masyarakat sipil yang kurang didukung
negara," kata Musdah menambahkan.
Pertemuan Kebebasan Beragama
Ketika menyampaikan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama ini,
Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menegaskan "di mana ada serangan terhadap
kebebasan fundamental agama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers dan
kebebasan berkumpul secara damai; akan ditemukan konflik, ketidakstabilan dan
terorisme. Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat yang menjunjung tinggi
kebebasan ini, berada dalam kondisi yang lebih aman, stabil dan damai."
Lebih jauh disampaikannya bahwa mengingat kebebasan beragama
merupakan prioritas pemerintahan Trump, Departemen Luar Negeri akan mengadakan
pertemuan tingkat menteri pada 25-26 Juli mendatang untuk memajukan kebebasan
beragama, dengan mengundang diplomat-diplomat asing dari "negara-negara,
perwakilan organisasi internasional, komunitas agama, dan masyarakat sipil yang
berpandangan sama untuk menegaskan kembali komitmen kita pada kebebasan
beragama sebagai hak asasi manusia yang universal."
Sumber: detik.com