Mantan Jaksa Menangis Merasa Tertipu, Beli Tanah 3.600 Meter Persegi di HGU PTPN
Monday, 14 August 2017
Edit
Darirakyat.com, MEDAN -Jarem Pinem tergopoh-gopoh memasuki kantor PT
Perkebunan Nusantara (PTPN) II Kwala Bekala, Simalingkar A, Pancurbatu,
Kabupaten Deliserdang. Pria yang lama tinggal di Jakarta itu, kemudian
memboyong Mardina Karokaro, istrinya masuk ke dalam ruangan.
Selama berdialog
dengan pihak PTPN II, Mardina, yang mantan jaksa, hanya bisa menangis.
Impiannya menghabiskan masa pensiun di Kota Medan terancam sirna.
"Kami ingin
mendapat kejelasan tentang kabar akan dibangun perumahan di sini. Sebelumnya,
kami tinggal di Jakarta, sehingga terkejut mengetahui tanah kami akan diambil
PTPN. Padahal, kami berencana menikmati hari tua di Simalingkar," ujarnya
di ruang kuasa hukum PTPN II, Sastra, pekan lalu.
Ia menceritakan,
setelah Mardina pensiun dari Kejaksaan Negeri Jakarta, ingin kembali ke Kota
Medan. Selama ini, mereka tinggal di Lebakbulus, Cilandak, Jakarta. Mereka baru
menetap dua pekan di Kota Medan.
Jarem dan istrinya
mengontrak rumah di kawasan Jalan Jamin Ginting. Ia mengaku, terkejut membaca
pemberitaan surat kabar di Medan, yang mengulas tentang wacana pembangunan 17
ribu rumah murah di Kwala Bekala.
Kala itu, ia
memutuskan segera mendatangi balai desa. Pegawai balai desa mengarahkan ke
Kantor PTPN II Kwala Bekala.
Ia menceritakan,
Mardina tak henti meneteskan air mata, karena keinginannya menikmati pensiun di
lahan seluas 3.600 meter persegi di Desa Simalingkar A sirna. Padahal, mereka
sudah berencana membangun rumah.
"Istri saya
pengin pulang kampung setelah pensiun, makanya kami beli tanah sejak lama,
untuk menikmati hari tua. Apalagi, lokasi tanah itu berada di lembah, sehingga
cocok untuk peliara bebek atau ayam. Kalau tahu itu tanah PTPN, tidak mungkin
kami beli," katanya.
Ia menuturkan, pada
2008, ada anggota keluarganya menawarkan tanah seluas 3.600 meter persegi.
Harganya per meter Rp 10 ribu. Ia dan istrinya tertarik membeli tanah tersebut.
Ia tidak mengetahui tanah itu HGU PTPN.
Setelah negoisasi jual
beli, lanjutnya, pihak balai desa dan kecamatan mengukur tanah, tidak lama
kemudian camat mengeluarkan surat tanah. Kala itu, tidak ada yang memberi
pejelasan tentang status tanah tersebut.
"Saya enggak tahu
kalau tanah itu HGU PTPN II, karena sedang berada di Jakarta. Jadi, saat
mengukur tanah, pihak keluarga dan kepala desa sampaikan tanah kami tidak
termasuk bekas perkebunan," ujarnya.
Berdasarkan informasi
dari keluarga, katanya, lokasi tanah yang dibelinya di bawah perbukitan,
sehingga tidak terlihat ada pohon sawit. Apalagi, di seputaran lokasi tanah
tersebut, banyak sawah, dan tanaman palawija warga sekitar.
Ia mengaku kecewa
lantaran mengeluarkan uang puluhan juta rupiah membeli tanah HGU PTPN II dari
kerabatnya, yang belakangan diduga sebagai penggarap. Dan, penjual tanah
tersebut sudah meninggal, sehingga tidak dapat menuntut pengembalian uang.
"Kalau tahu tanah
itu punya PTPN II, tidak mungkin saya beli. Mending kami beli rumah
kecil-kecilan saja. Kalau kami beli rumah gubuk-gubuk tidak terlantar kami pada
hari tua kayak sekarang ini," ujarnya.
Mardina meneteskan air
mata sepanjang diskusi terkait pembelian tanah tersebut. Berulang kali ia
meminta agar PTPN II memberikan keringanan atau solusi, karena tidak tahu tanah
yang dibelinya HGU PTPN.
Kuasa hukum PTPN II
menyarankan Jarem Pinem bersama istrinya untuk membuat surat pernyataan.
Sehingga, dapat mengisi daftar tanaman serta tumbuhan agar mendapatkan uang
tali asih dari PTPN-II.
Kuasa Hukum PTPNII
Sastra mengimbau, kepada masyarakat yang membeli tanah HGU dari penggarap agar
melapor ke Kantor PTPN II. Tujuannya untuk pendataan, supaya diberi uang tali asih.
Sebab, sudah banyak masyarakat jadi korban para penggarap.
"Kepada
masyarakat yang sudah terlanjur membeli tanah dari penggarap datang ke sini
(Kantor PTPN II, Bekala). Kami tidak akan menuntut orang yang sudah berniat
baik melaporkan pembelian tanah HGU. Data sementara 150 warga jadi korban
penggarap, sehingga perlu pendataan untuk diberi uang tali asih," katanya.
Menurutnya, sebagai
kuasa hukum PTPN II diminta menjalankan program sinergi BUMN untuk membangun
perumahan. Karena itu, PTPN II bersama Perum Perumnas bekerja menyelesaikan
program yang sudah disetujui rapat umum pemegang saham tersebut.
Ia
menjelaskan, sejak ada pengosongan tanah hak guna usaha (HGU) terjadi pro dan
kontra. Tapi, menurutnya, tidak masalah masyarakat berdemo dan menyampaikan
pendapat. Tapi, program pemerintah harus dilaksanakan, karena untuk kebaikkan
orang banyak.
Selain
itu, katanya, PTPN II dan
Perum Perumnas membangun kota bukan sekadar perumahan, ada 17 ribu unit rumah
dan sarana pendukungnya. Bahkan, katanya, konsep pembangunan kota mandiri
dibicarakan lintas kementerian.
"Contoh
ada kereta api, yang membangun Kementerian Perhubungan dan pengembangan USU.
Bisa bayangkan, investasi mencapai 12 triliun di luar pembangunan lintas
kementerian yang saya sampaikan tadi. Jadi, efeknya luar biasa, ada peningkatan
APBD dan menciptakan lapangan kerja baru," ungkapnya.
Keluarkan Surat Tanah
Mantan Camat Pancurbatu, sekaligus Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi,
Kabupaten Deliserdang Haris Binar Ginting mengakui, banyak mengeluarkan surat
tanah di kawasan Simalingkar A, maupun daerah yang dianggap HGU PTPN II.
"Warga
yang datang mengurus surat tanah seluruhnya menyerahkan bukti alas haknya.
Misalnya, ada memperlihatkan bukti surat warisan dan surat menggarap. Sedangkan,
camat enggak tahu batasan, tanah HGU dan ulayat," katanya.
Anda
tahu lokasi tanah ulayat, tanya Tribun Medan/Tribun-Medan.com. Ia menjawab,
tidak tahu persinya lokasi tanah Ulayat masyarakat banyak lokasinya. Seluruh
warga menganggap tanah itu milik mereka, sehingga tidak perlu melayangkan
gugatan.
"Ada
banyak lokasi tanah ulayat, bukan satu lokasi saja. Dan, warga anggap tanah itu
milik mereka, sehingga tidak perlu melayangkan gugatan ke pengadilan. Jika
pihak kebun mengklaim benar, maka mereka buktikan saja ke pengadilan. Tapi,
pihak kebun tidak pernah membawa masalah ini ke pengadilan. Tanah ulayat
menyebar ada di Bekala, dan Lau Chi," ujarnya.
Ia
menjelaskan, sebagai camat akan mengeluarkan surat jual beli asalkan punya alas
hak yang jelas, sehingga surat tanah yang dikeluarkan enggak abal-abal.
Adapun
alas hak yang dimaksud, keterangan saksi, dan sejarah tanah. Bahkan, camat
terdahulu mengeluarkan surat tanah. Sebagai camat, lanjutnya, tidak punya
alasan menolak permintaan warga yang mengurus surat tanah, karena punya alas
hak yang cukup.
Apalagi,
surat tanah yang dikeluarkannya sah dan berkekuatan hukum. Artinya, bukan
rekayasa.
Dia
mengklaim, sejak 2007 sudah berulang kali mengirim surat kepada direksi PTPN II agar
berdiskusi tentang batas tanah HGU. Tapi, surat yang dilayangkannya enggak
pernah dibalas sehingga tak pernah ada pertemuan.
"Kami
undang saja tidak pernah mau datang mereka (PTPN II), untuk mentukan batas
tanah, agar tidak ada masalah seperti ini. Malah ada surat dulu, yang disebar
manajer PTPN II bahwa
HGU enggak diperpanjangan lagi," katanya.
Jika
yakin tanah tersebut milik masyarakat kenapa enggak menggugat? Ia mengatakan,
tidak akan ada masyarakat melayangkan gugatan ke pengadilan, karena seluruh
warga percaya tanah itu milik mereka, bukan HGU PTPN II.
"Kalau
masyarakat tidak akan mau melapor, karena yakin itu milik mereka. Kalau digarap
paksa? Laporkan saja ke DPRD Sumut. Saya berikan keterangan berdasarkan fakta
di lapangan. Bukan soal materi ini," ujarnya.
Ia
mengungkapkan, seluruh tanah yang dianggap ulayat warga tidak masuk dalam HGU PTPN II, sehingga
perusahaan perkebunan itu diminta jangan mengklaim seenaknya. Bahkan, selama
ini PTPN II mengklaim
punya luas tanah HGU 1.000 hektare. Padahal, katanya, hanya sekitar 700 ha.
"Contoh,
enggak mungkin di kebun ada sawah. Kalau kebun itu tanamannya sawit, tembakau,
karet, sementara tanah ulayat itu ada sawah. Kedua, dari dulu kami enggak tahu
batasan tanah kebun da ulayat. Kami berkali-kali mengirimkan surat PTPN II, tapi
mereka enggak pernah datang," katanya. (medan.tribunnews.com)