Pengamat : Pak Rizieq Ditunggu Revolusinya, Jangan Kebanyakan Ngomong
Sunday, 9 July 2017
Edit
JAKARTA, Darirakyat.com - Sudah dua bulan lebih Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq
Shihab meninggalkan Indonesia. Ia disebut-sebut melarikan diri dari berbagai
kasus yang menjeratnya.
Meski tak di tanah air, namun pemberitaan soal sepak terjang
Habib Rizieq seakan-akan tak pernah usai.
Terbaru, tersangka kasus chat WhatsApp berkonten pornografi
yang telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) itu menawarkan rekonsiliasi
kepada pemerintah dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Jika rekonsiliasi ditolak atau syarat-syarat yang diajukan
tidak dipenuhi, maka Habib Rizieq mengancam akan revolusi. Istilah revolusi
yang sering digaungkannya ini kemudian mendapat tanggapan dari pengamat politik
Ray Rangkuti.
Ray menyebut, jika Habib Rizieq ingin revolusi, maka hal itu
harus segera dilakukan, mengingat masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi)
akan segera berakhir.
"Pak Rizieq hanya ada dua pilihannya, pertama datang ke
Indonesia untuk menghadapi proses hukum, atau yang kedua kalau nggak percaya
sama hukum di Indonesia, buat saja revolusi itu, ditunggu revolusinya, karena
waktunya tinggal dua tahun," kata Ray kepada Netralnews.com, Minggu
(9/7/2017).
Komentar bernada satire itu disampaikan Ray, pasalnya
revolusi merupakan sebuah tindakan dan bukan sekedar ucapan yang terus menerus
digaungkan.
"Jadi jangan kebanyakan ngomong kalau mau revolusi.
Nanti revolusinya jadi mubazir. Revolusi kok di mulut saja. Revolusi kan
tindakan bukan omongan," ujarnya.
"Jangan banyakin diomongin. Nggak ada tokoh revolusioner
di bumi ini yang ngomong revolusi tiap hari, yang ada mereka bertindak, bekerja
untuk membuat revolusi itu terjadi," tandas Ray.
Apalagi diungkapkan Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA)
ini, Habib Rizieq terkesan tidak konsisten dengan niat revolusinya. Sebab,
jauh-jauh hari bicara revolusi, namun sekarang kembali menawarkan rekonsiliasi.
"Ini revolusi kok diomongin, ditawar-tawar. Revolusi itu
nggak ada tawar-tawaran, hanya ada dua kemungkinan, dia jatuh atau kita yang
jatuh. Jangan revolusi turunnya ke rekonsiliasi," tutup Ray.
Sebelumnya, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq
Shihab mengajukan beberapa syarat sebelum dilakukan rekonsiliasi. Pertama,
tidak ada rekonsiliasi tanpa stop kriminalisasi ulama dan aktivis. Kedua, tidak
ada rekonsiliasi tanpa stop penistaan terhadap agama apa pun.
"Ketiga, tidak ada rekonsiliasi tanpa stop penyebaran
paham komunisme, marxisme, leninisme dan liberalisme serta paham sesat
lainnya," kata Habib Rizieq lewat akun Twitternya, Minggu (2/7/2017).
Lanjutnya, tidak akan ada rekonsiliasi tanpa stop kezaliman
terhadap rakyat kecil yang lemah dan tak berdaya. Yang terakhir, tidak
ada rekonsiliasi tanpa menjunjung tinggi asas musyawarah dan asas
proporsionalitas di seluruh aspek dan sektor serta bidang dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi pemerintah,
menurut Ketua Dewan Pembina Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (GNPF-MUI) ini, tidak ada pilihan lain, kecuali revolusi.
"Jika semua itu tidak bisa dipenuhi untuk mewujudkan
rekonsiliasi Nasional bagi keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, maka tidak ada pilihan lain bagi rakyat dan bangsa Indonesia kecuali:
REVOLUSI," tegas Habib Rizieq. (NETRALNEWS.COM)