Apa Arti Puisi Gatot Itu? Jokowi Uji Gatot Dengan Puisinya
Sunday, 28 May 2017
Edit
Darirakyat.com -- Gatot
Nurmantyo, Panglima TNI, berpuisi. Isinya sebuah kegelisahan maha dahsyat.
Gatot menangisi sebuah realita terkini di negerinya. Ia selaku panglima TNI,
risau luar biasa. Kini penduduk negeri zamrud di khatulistiwa yang bernama
Indonesia itu, setengah terusir. Mereka bukan tuan di atas negerinya sendiri.
Mereka telah terasing, tersingkir, terdepak dan menjadi penonton. Begitulah isi
puisi Gatot.
Sebelum
kita analisa dengan riang-gembira sambil seruput the lemon tanpa gula, mari
kita simak sepenggal puisi Gatot karangan Denny JA itu.
“Lihatlah
hidup di desa, sangat subur tanahnya. Sangat luas sawahnya, tetapi bukan kami
punya. Lihat padi menguning, menghiasi bumi sekeliling. Desa yang kaya raya,
tapi bukan kami punya. Lihatlah hidup di kota, pasar swalayan tertata. Ramai
pasarnya, tapi bukan kami punya. Lihatlah aneka barang, dijual belikan orang.
Oh makmurnya, tapi bukan kami punya”.
Apa arti
puisi Gatot itu? Ketika disampaikan di Rapimnas Golkar dan keluar dari mulut
seorang Panglima TNI, puisi itu bermakna politis. Gatot melempar sebuah realita
kepada publik bahwa kini Indonesia yang kaya raya itu sudah tidak dimiliki oleh
rakyatnya sendiri. Ada pihak lain, ada orang lain, yang telah menguasainya.
Kata
‘kami’ mewakili rakyat banyak, rakyat mayoritas. Rakyat banyak itu pada saat
ini tidak memiliki lagi sawah subur, desa kaya, pasar ramai dan aneka barang
yang di jual di bumi Indonesia. “Bukan kami yang punya”, begitu penegasan puisi
Gatot. Artinya apa?
Rakyat
banyak itu sekarang bukan pemilik. Mereka kini hanya sebagai penonton, sebagai
kuli, buruh, pekerja yang terasing dan tersingkir di negerinya sendiri. Mereka
sudah tidak punya apa-apa. Mereka bukan tuan atas negeri sendiri. Begitu
kira-kira pesan filosofis dari puisi Gatot itu. Lalu mengapa hal itu terjadi?
Puisi
Gatot itu menyiratkan pesan bahwa pemerintah sekarang ini, dalam hal ini
Jokowi, tidak berpihak kepada rakyat kecil. Benarkah demikian? Jika pesan puisi
Gatot ini benar dan diamini sendiri oleh Gatot, maka hal itu sebuah pemahaman
yang keliru. Siapa yang memerintah selama 10 tahun dan mengabaikan kemakmuran
rakyat dan hanya sibuk berutang menutupi defisit APBN demi subsidi BBM?
Jokowi
sendiri baru 2,5 tahun memerintah. Dalam kurun waktu tersebut, Jokowi telah
berhasil merebut kembali Freeport dan Blok Mahakam dari tangan asing. Jika kita
melihat ke belakang, maka betapa Jokowi telah melakukan kebijakan yang amat
berani ketika ia mengembalikan kedaulatan laut ke tangan Indonesia dari
pencurian ikan. Lewat menteri Susi, Jokowi mengeluarkan perintah untuk
menenggelamkan semua kapal pencuri ikan. Jokowi juga berani melawan para
mafia di Petral, PSSI, para mafia daging sapi, beras, gula dan seterusnya.
Apakah
Gatot tutup mata bagaimana Jokowi mati-matian membangun infrastruktur yang
hampir merata ke seluruh pelosok negeri agar rakyat dapat mengakses pasar lebih
mudah? Terakhir bagaimana Papua dapat menikmati harga BBM yang sama harganya di
Jawa. Lalu Jokowi terus membangun berbagai bendungan, membuka lahan pertanian
yang baru untuk kembali memakmurkan negeri ini.
Setahun
terakhir ini, untuk pertama kalinya dalam satu dasawarsa, Indonesia berhasil
melakukan swasembada beras. Indonesia tidak lagi mengimpor beras. Seolah tak
kenal lelah, Jokowi kini sedang berusaha mati-matian untuk memberikan
puluhan juta sertifikat tanah kepada rakyat Indonesia. Tujuannya agar mereka
kembali memiliki lahan atas nama mereka sendiri.
Jika
puisi Gatot memberikan pesan bahwa rakyat Indonesia yang bukan tuan atas
negerinya sendiri dan oleh karena itu butuh pemimpin baru yang tegas, maka itu
bisa dimaklumi. Mungkin Gatot ingin menjadi capres atau cawapres pada Pilpres
2019 mendatang? Beberapa sinyal untuk itu menyatakan ya. Dan itu sah-sah saja.
Setiap warga negara berhak menjadi presiden di republik ini karena dijamin oleh
konstitusi.
Lalu
seandainya Gatot menjadi Presiden di republik ini, apakah semudah membalikkan
telapak tangan memakmurkan rakyat? Semudah membalikkan tangan kah menjadikan
rakyat banyak memiliki sawah yang subur, desa yang kaya raya, pasar swalayan
yang ramai dan mampu membeli barang-barang yang sekarang diperjual belikan itu?
Apakah
seorang presiden bisa merampas begitu saja tanah, rumah dan harta milik orang
kaya? Lalu mengusir pemilik sawah, pemilik pasar, pemilik aneka barang lalu
sawah, pasar dan barang itu diberikan kepada rakyat banyak? Bisa kacau
negeri ini. Dunia sekarang sangat sensitif. Begitu ada gejolak sedikit saja,
modal-modal dari dalam negeri langsung berhamburan keluar. Pasar langsung
bereaksi, bahan-bahan pangan langsung melonjak. Ujung-ujungnya rakyat banyak
semakin menderita. Hanya satu jalan seperti yang dilakukan Jokowi: bekerja
keras.
Saya
lebih percaya pada lingkaran setan kemiskinan di negeri ini. Ketika ditanya
kepada seseorang, kenapa anda miskin? Jawabnya kKarena ayah saya miskin. Kenapa
ayahmu miskin karena kakek saya miskin. Mengapa kakekmu miskin karena ayahnya
si kakek miskin. Begitulah seterusnya. Penduduk negeri ini memang banyak namun
tidak berkualitas. Ketika sebuah keluarga dililit kemiskinan, maka anak-anaknya
kemungkinan besar dilanda juga kemiskinan sampai cucu-cicit.
Manusia-manusia
Indonesia terkenal santainya, boros waktu dan uang, sibuk pada hal-hal yang
tidak berguna. Mereka sibuk mengurusi SARA, sibuk mengkafir-kafirkan orang.
Situasi bertambah parah ketika pada usia muda sudah gemar kawin, lalu cerai,
kawin lagi, cerai lagi. Jika ada harta sedikit saja, maka manusia Indonesia
mulai berpikir untuk menambah satu isteri. Ada duit lagi, nambah isteri. Begitu
seterusnya. Lalu jika sudah sukses menjabat, maka mereka belajar korupsi,
belajar menilap uang negara dengan berbagai cara.
Atas
dasar situasi di atas, maka sebetulnya puisi Gatot itu bisa dimaknai telah
menohok dirinya sendiri. Jika Indonesia sekarang bukan tuan atas negerinya
sendiri, hal itu karena adanya mental korup bagi para pejabatnya. Mereka dengan
mudah disuap, dibeli oleh asing dan aseng. Kolusi, korupsi dan nepotisme di
antara para pejabat-pengusahapun ibarat cinta maut. Ada kerja sama antara
pejabat dan pengusaha. Masih ingatkah isi percakapan Reza Chalid dan Setya
Novanto yang akan membeli jet pribadi, lalu bersenang-senang main golf jika
renegoisasi Freeport berhasil?
Mungkin
kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Beberapa hari yang lalu para pejabat
BPK tertangkap tangan oleh KPK karena memperjual-belikan opini WTP. Ini contoh
mental pejabat yang membuat rakyatnya menderita. Biarpun banyak korupsi
anggaran dan tidak dirasakan efeknya oleh rakyat, tetap saja lembaga yang
dimaksud mendapat WTP dari BPK.
Maka
sangat tepatlah jika Jokowi menguji kehebatan Gatot yang berani berpuisi itu.
Bersihkan korupsi di tubuh TNI. Habisi permainan dalam pengadaan dan pembelian
alutsista yang dikenal sebagai ‘lahan basah’ di masa lampau. Lakukan apa yang
anda puisikan. Untuk mengembalikan rakyat menjadi tuan atas negerinya sendiri,
habisi jenderal korup. Begitu kira-kira perintah Jokowi kepada Gatot. Lalu apa
reaksi Gatot?
Gatot
tak berdaya. Ia sudah berpuisi. Ia malu karena di tubuh TNI sendiri, ada
korupsi besar. Kini setelah puisinya viral ditambah perintah dari Jokowi agar
Gatot menerjemahkan sendiri puisinya itu di tubuh TNI, Gatotpun dipaksa garang.
Tak ada pilihan lain. Puisi telah dilantukan.
Kini
Gatot harus bekerja sama dengan KPK menghabisi oknum para jenderap yang korup
dan mengusut keterlibatan beberapa perwira TNI yang terlibat dalam pembelian
helicopter Apache dan jet tempur F-16. Untuk sementara, sudah ada tiga
tersangka dari kalangan perwira TNI dengan kerugian negara sebesar Rp 220
miliar. Ini jelas memalukan.
Untung
Gatot berpuisi. Lewat puisinya, Jokowi langsung menguji kehebatan Gatot untuk
menerjemahkan puisi itu sendiri dengan membersihkan TNI dari korupsi. Mantap. ( seword.com )