Atlet Barongsai Berjilbab Menjawab Tuduhan 'Usaha Pendangkalan Akidah'
Sunday, 13 November 2022
Edit
Darirakyat.com - Di antara tim barongsai sasana Golden Dragon di Banda Aceh, terdapat sosok dua perempuan berjilbab di barisan para pemain musik. Ratih Puspasari dan Ceizzhiya Azilla Camilin harus menghadapi cibiran dan penolakan dari sesama Muslim. Sebuah prasangka yang diwariskan pada generasi muda, kata antropolog.
“Kok, ada yang berjilbab? Kan, [Muslim] enggak boleh ikut merayakan Imlek?”
Pertanyaan ini ditulis oleh seorang warganet, mengomentari sebuah artikel daring yang memuat foto Ratih Puspasari sedang mengisi pertunjukan barongsai bersama teman-temannya yang mayoritas berdarah Tionghoa.
Artikel dan foto itu menjadi cukup viral di Facebook pada 2014 silam. Meski sudah bertahun-tahun lalu, Ratih, kini 25 tahun, mengaku masih mengingat jelas cibiran yang diterimanya kala itu.
“Komentar-komentar yang pasti tidak mengenakkan,” kata Ratih saat ditemui usai mengikuti latihan rutin bersama para atlet barongsai lainnya di kawasan Kuta Alam, Banda Aceh, pada Selasa (01/11).
Ratih mengingat, itu adalah penampilan perdananya mengisi perayaan Tahun Baru Imlek semenjak bergabung menjadi anggota klub barongsai Golden Dragon. Mereka baru mempertunjukkan kebolehan di sebuah wihara di Banda Aceh.
"Pemain Muslim, kok, gabung sama non-Muslim. Apa mau ikut-ikutan mereka?" dia menirukan bunyi komentar lainnya.
Ratih mengaku memilih untuk tidak melihat komentar-komentar bernada makian, karena kata dia, “membuat mual”.
Sempat tak diizinkan orang tua
Ratih bergabung dengan sasana Golden Dragon sebelum kesenian barongsai diakui Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) sebagai olahraga yang dapat diperlombakan pada 2013.
Perkenalan pertamanya dengan barongsai ketika dia menonton pertunjukan yang digelar di sebuah wihara di daerah Peunayong, yang merupakan kawasan pecinan di Banda Aceh.
Pertunjukan barongsai memang sering digelar di kawasan itu pada hari besar China, seperti Tahun Baru Imlek.
Ratih Puspasari dan Ceizzhiya Azilla Camilin bersama teman-temannya sesama atlet barongsai di sasana Golden Dragon.
Setelah dua kali menonton, Ratih mantap mendaftarkan diri menjadi salah satu atlet barongsai. Posisinya, penabuh simbal.
"Langsung di latihan musik," tutur Ratih.
Saat itu, bersama temannya, Maisarah Fatmawati, Ratih tercatat sebagai atlet barongsai perempuan Aceh pertama di bawah Forum Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI).
Namun Maisarah memutuskan keluar dari sasana pada 2017.
Awalnya, Ratih mengaku mendapatkan penolakan dari keluarga dan teman-temannya. Kedua orang tuanya bahkan tak mengizinkan dirinya bergabung dalam tim barongsai.
Alasan utama di balik sikap orang tuanya itu berkaitan dengan budaya. Barongsai, kata mereka, bukan budaya Islami, terlebih formasi tim di sasana diisi oleh mayoritas keturunan Tionghoa.
Dulu, Ratih sering diingatkan oleh ayah dan ibunya untuk “tidak usah sering-sering berhubungan dengan orang-orang dari Golden Dragon”.
Saat Ratih mengundang kawan-kawannya dari sasana ke rumah saat perayaan Idulfitri 2014, ia mengingat ayahnya bahkan tak mau bergabung dengan tetamu yang datang.
“Enggak duduk bareng, hanya salam saja, sesudah itu pergi,” kenang Ratih.
Namun lama-kelamaan, sikap dingin sang ayah melunak. Persoalan akidah, Ratih tak pernah mengecewakan orang tuanya. Apalagi setelah melihat berbagai prestasi yang ditorehkan Ratih bersama timnya.
Suasana latihan di sasana barongsai Golden Dragon Banda Aceh.
Kini, sudah delapan tahun Ratih menjadi atlet barongsai. Bersama timnya, ia telah bertanding di pelbagai turnamen, mulai dari tingkat nasional hingga internasional.
Di antara semua yang pernah diikuti oleh timnya, kata Ratih, yang paling bergengsi adalah turnamen antarnegara di Kota Gongyi, Provinsi Henan, Tiongkok, pada 2019.
Di ajang itu, Golden Dragon terpilih sebagai tim dengan performa terbaik.
Selepas kepergian sang ayah, ia mengaku ibunya mendukung penuh kariernya sebagai atlet barongsai.
Lulusan ekonomi manajemen yang bekerja pada urusan pembukuan sebuah hotel di kawasan Peunayong ini bahkan berencana menikah dengan sesama atlet barongsai yang telah memutuskan menjadi mualaf, Martin.
‘Ngapain ikut barongsai?’
Chiezzhiya Azilla Camilin saat berlatih di sasana Golden Dragon.
Atlet barongsai berhijab lainnya di sasana Golden Dragon selain Ratih adalah Ceizzhiya Azilla Camilin, 12. Berbeda dengan Ratih yang awalnya tak didukung orang tua, Ceizzhiya justru diminta oleh ibunya untuk mendaftarkan diri ke sasana Golden Dragon pada 2019.
Ceizzhiya memang sudah mengenal barongsai sejak taman kanak-kanak. Dulu, ia dan keluarganya suka menonton atraksi barongsai yang digelar setiap perayaan hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus di Kota Langsa.
Setelah bergabung dengan Golden Dragon, komentar miring kerap diterima Ceizzhiya dari teman-teman sekelasnya di sekolah dasar.
"Banyak yang bilang, ngapain ikut barongsai, buang-buang waktu saja, enggak ada gunanya,” ia menirukan.
“Ada juga yang bilang, nanti bisa ikut sama agama mereka, disuruh sembah apa yang mereka sembah," tutur Ceizzhiya tentang cibiran teman-temannya dulu, melalui sambungan telepon kepada wartawan Aceh Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa, (01/11).
Berbeda dengan Ratih yang memilih tidak mengacuhkan kalimat-kalimat bernada rasial dan menghasut tersebut, Ceizzhiya berusaha menampik tuduhan teman-temannya.
"Buktinya, saya dari 2019 ikut barongsai enggak ada yang buruk," begitu Ceizzhiya menjawab.
Tim yang saling tenggang rasa
Selain karena dukungan dari keluarga, Ratih dan Ceizzhiya kini mengaku betah bergabung ke dalam tim barongsai Golden Dragon karena sasana tersebut menerapkan tenggang rasa antarumat beragama.
"Karena kebersamaannya, saling mengingatkan, walaupun berbeda. Pokoknya yang terbaiklah, mereka untuk kami juga yang beragama Islam. Enggak memandang dari segi, oh, dia berjilbab, gitu, tetapi semuanya sama," kata Ratih.
Ratih bercerita bahwa teman-temannya sering mengingatkan dia dan Ceizzhiya untuk segera beribadah apabila telah masuk waktu salat.
"Misalnya azan, kan, terdengar dari tempat latihan atau pas kami sedang pergi. [Mereka mengingatkan], oh ini sudah azan ini, kalian enggak salat dulu, nanti baru kita pergi," ungkap Ratih.
"Kalau misalnya, ada acara, mereka selalu mengingatkan untuk salat dulu. Tidak pernah ada paksaan apa-apa," imbuh Ceizzhiya.
Kawan-kawan mereka, sebut kedua atlet perempuan ini, juga kerap mengingatkan Ratih dan Ceizzhiya ketika melihat ujung rambut teman Muslim mereka menyembul keluar dari balik jilbab.
Chong Lie, salah satu perintis dan pelatih di sasana barongsai Golden Dragon.
Salah satu perintis sekaligus pelatih Golden Dragon, Chong Lie, mengatakan bahwa ia selalu berusaha agar sasana yang dibinanya itu dipenuhi suasana yang harmonis.
Bersama Ratih dan Ceizzhiya, Golden Dragon saat ini memiliki empat atlet perempuan, semuanya berada di barisan pengiring musik. Anggota yang lain juga berasal dari latar agama yang berbeda-beda.
"Golden Dragon kita itu, adalah kira-kira dua belas atau tiga belas. Agama semua ada, kecuali Hindu. Islam, Kristen, Kristen Katolik, Protestan ada, Buddha ada," kata Chong Lie, saat ditemui di kantor Yayasan Hakka, Peunayong, Banda Aceh, Kamis (03/11).
Ia juga bercerita bahwa dirinya berusaha meredam komentar-komentar bernada rasial yang ditujukan kepada anak didiknya seperti yang dialami Ratih ketika foto gadis itu viral di Facebook pada 2014.
"Biasa, bahasa-bahasa planet, bahasa-bahasa hewan [makian]," tutur Chong Lie soal komentar-komentar "jahat" warganet saat itu.
Waktu itu, secara khusus Chong Lie meminta kepada Ratih dan teman-temannya sesama atlet agar menahan diri dan tidak menggubris komentar-komentar tersebut karena ditakutkan akan memperkeruh suasana.
"Saya rasa tidak perlu saya untuk membalas di medsos yang sama-sama untuk membuat panas kepala. Kalau saya tetap memberikan anak-anak instruksi, enggak usah [dibalas]," ujar Chong Lie.
'Prasangka yang diwariskan'
Penampakan Mural di salah satu dinding ruko di kawasan pecinan Banda Aceh, Peunayong.
Pada Agustus tahun 2012, Pemerintah Banda Aceh melarang pertunjukan barongsai dengan dalih akan mencemari kesucian bulan Ramadan.
Saat itu, sebuah organisasi masyarakat sipil berinisiatif mengisi peringatan tujuh tahun perdamaian Aceh dengan kesenian barongsai sebagai wujud keberagaman etnis di Serambi Makkah.
Larangan tersebut diterbitkan dalam bentuk surat resmi Pemerintah Kota Banda Aceh bernomor 450/0892 tanggal 10 Agustus 2012, ditandatangani langsung Plt. Walikota Banda Aceh Teuku Saifuddin TA.
Menurut Antropolog Aceh, Muhajir Al-Fairusy, munculnya fenomena sentimen anti Tionghoa di Aceh dan segala hal yang berkaitan dengannya tidak terlepas dari peran situasi politik masa Reformasi 1998 di Indonesia.
Gejolak Reformasi 1998 dibarengi dengan kerusuhan yang melahirkan kekerasan menyasar etnis Tionghoa (China), mulai dari penjarahan, perkosaan, sampai pembunuhan.
Beberapa riset mengungkap adanya prasangka pribumi yang mengambinghitamkan etnis Tionghoa sebagai biang kesenjangan ekonomi yang menjadi faktor terjadinya kekerasan.
Sentimen anti China tersebut, kata Muhajir, tersebar hingga ke Aceh.
Padahal, kata Muhajir, secara simbolis, Kota Banda Aceh sendiri dibangun dengan peran besar orang China di dalamnya.
Contohnya, lanjut dia, di balik konstruksi Masjid Raya Baiturrahman yang merupakan ikon Provinsi Aceh, ada peran kontraktor dan pekerja asal Negeri Tirai Bambu.
Masjid Raya Baiturrahman.
"Nah, itu, kan dikait-kaitkan. Budaya seni barongsai yang dimainkan oleh teman-teman Chinese Tiongkok itu dimaknai sebagian orang-orang konservatif sebagai bentuk amalgamasi," terang Muhajir saat ditemui Jumat (04/11).
Amalgamasi yang dimaksud Muhajir merujuk kepada pembauran budaya Tionghoa dan Aceh melalui tindakan ikut bergabungnya gadis Muslim seperti Ratih ke dalam klub barongsai.
Hal ini tidak disukai oleh orang-orang yang disebut oleh Muhajir "konservatif", sehingga membuat mereka berang.
"Teman-teman yang konservatif cenderung latah, kan begitu? Cenderung menganggap sesuatu yang berbau Chinese itu sesuatu yang haram, yang berdosa.”
Prasangka bahkan telah turun hingga ke generasi muda, seperti teman-teman sekolah Ratih dan Ceizzhiya yang “merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan kedua gadis itu dari upaya pendangkalan akidah”, sebut Muhajir.
Menurut dia, fenomena seperti ini bisa dijelaskan melalui temuan antropolog asal Belanda Martin van Bruinessen tentang gejala conservative turn atau belok ke arah konservatif.
"Di mana kemudian, gejala konservatif itu muncul di tengah-tengah masyarakat kita. Itu merambah ke semua lini, termasuk terutama pendidikan dan agama."
(BBC.com)