Heboh! Putra Rachmawati Sebut Sukarno Dibunuh di Wisma Yasoo



Darirakyat.com -
Pernyataan Didi Mahardika yang cucu Presiden RI pertama Sukarno membuat geger. Pasalnya, Didi menyebut kakeknya itu dibunuh di Wisma Yasoo.Pernyataan Didi ini muncul dalam channel YouTube V Entertainment.id saat berbincang dengan host channel tersebut, yaitu YouTuber Nandatanya. Host awalnya bertanya soal video musik TRAH-Untuk Indonesia Raya garapan Didi Mahardika. Pertanyaannya seputar lokasi pengambilan video.

"Ada cerita apa di balik video musik TRAH, terus kenapa di tempat ikonik seperti di rumah Cilandak ini, ada apa dengan Rumah Cilandak, Bundaran HI, GBK, dan Museum Satriamandala? Museum Satriamandala atau Wisma Yasoo, Mas?" tanya host kepada Didi.

"Mulai gue datang di Satriamandala atau yang disebut Wisma Yasoo, itu adalah tempat peristirahatan terakhir Bung Karno yang seolah-olah kayak diasingkan tanpa melalui tidak diberikan kesempatan untuk membela dirinya di persidangan, seperti diasingkan...," ujar host melanjutkan.

Didi memotong pernyataan tersebut. Dia menambahkan pernyataan bahwa Bung Karno dibunuh di Wisma Yasoo.

"Aku tambahin dikit, Mas, tidak hanya diasingkan, tapi di situlah bapak kita, Bapak Bangsa, Bapak Proklamator kita, yang memperjuangkan kita semua, dibunuh di situ, dibunuh, iya, harus banyak yang tahu," ujar Didi.

Host mempertanyakan keyakinan Didi atas pernyataannya. Didi menegaskan dirinya yakin.

"Pasti. Apa perlu gua ulang lagi?" ujarnya.

"Kalau mau ada yang bertanya, mungkin bisa ditanyakan ke ahli sejarah. Dan ahli sejarah yang bisa menceritakan apa adanya," imbuh putra Rachmawati Soekarnoputri ini.

Didi juga mengatakan Museum Satriamandala adalah Wisma Yasoo, tempat hari-hari terakhir Bung Karno. Namun keberadaan Wisma Yasoo, menurut Didi, coba ditutup-tutupi dengan mengubah nama tempat itu menjadi Museum Satriamandala.

Didi menuturkan dirinya sempat berbicara dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto soal Wisma Yasoo ini, namun pernyataannya tak dilanjutkan karena dipotong oleh host.

Sejarawan BRIN Asvi Warman Adam merespons pernyataan ini. Mengutip sejarawan Prancis, Asvi menguatkan pernyataan Didi.

"Tahun 1970 Bung Karno meninggal. Jacques Leclerc, sejarawan Prancis, mengatakan bahwa Bung Karno dibunuh dua kali. Pertama Bung Karno meninggal tahun 1970. Tahun 1970 peringatan Hari Lahir Pancasila dilarang Kopkamtib," ungkapnya.

Asvi juga pernah bertanya kepada dokter Kartono Mohammad apakah Sukarno dibunuh secara perlahan. Untuk diketahui, Kartono merupakan dokter yang pernah bertemu dengan Dr Wu Jie Ping, yang pernah merawat Sukarno pada 1965. Kartono menjelaskan bahwa Bung Karno tidak dirawat sebagaimana semestinya saat di Wisma Yasoo.

"Saya tanyakan kepada dokter Kartono Mohammad (alm), apakah betul Bung Karno dibunuh secara perlahan di Wisma Yasso. Jawab Kartono, 'Bung Karno tidak dirawat sebagaimana semestinya'," tuturnya.

Asvi juga bicara soal Wisma Yasoo. Dia mengatakan tempat yang dulunya Wisma Yasoo berubah menjadi Museum Satriamandala di era Orba.

"Yaso (atau Yasoo, red) itu nama adik dari Ratnasari Dewi Sukarno yang sudah meninggal. Tempat tinggal istri Bung Karno, Dewi Sukarno. Kemudian diambil alih Orba dan dijadikan Museum Satriamandala, sekaligus Pusat Sejarah ABRI," ujar Asvi.

Perawatan Miris

Cerita perawatan kesehatan Bung Karno di sisa hidupnya ini juga diungkap oleh Asvi dalam tulisan berjudul 'Beda Perawatan Soeharto dengan Sukarno'. Tulisan ini terhimpun dalam buku 'Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto' suntingan FX Baskara Tulus Wardaya.

Diceritakan dalam buku itu bahwa sejak awal 1968 Bung Karno berada dalam 'karantina politik' dan tinggal paviliun Istana Bogor. Bung Karno kemudian dipindahkan ke peristirahatan 'Hing Puri Bima Sakti' di Batutulis, Bogor.

Melihat kondisi ini, putri Bung Karno, Rachmawati, menemui Soeharto di Cendana untuk meminta agar ayahnya dipindahkan ke Jakarta. Pada awal 1969, Sukarno pindah ke Wisma Yasoo di Jalan Gatot Subroto (sekarang Museum Satriamandala).

"Sukarno mendapat perawatan seperti pasien di rumah sakit, dalam arti diukur suhu badan dan tekanan darah beberapa kali dalam sehari, serta jumlah air kencing selama 24 jam," tulis Asvi.

"Pernah ada pemeriksaan rontgen. Tidak diberikan diet khusus seperti yang dilakukan terhadap pasien gangguan ginjal. Selain itu, Bung Karno hanya dilayani oleh seorang dokter umum (dr Sularjo). Bung Karno tidak pernah mendapat penanganan khusus dari dokter spesialis," lanjutnya.

Ketika kondisi Bung Karno kritis, Prof Mahar Mardjono, guru besar Universitas Indonesia, sempat menceritakan kepada dr Kartono Mohammad bahwa obat yang diresepkannya disimpan saja di laci oleh 'dokter yang berpangkat tinggi'.

Sementara itu, menurut catatan perawat, obat yang diberikan kepada Sukarno adalah vitamin B12, vitamin B kompleks, Duvadilan, dan Royal Jelly (yang sebenarnya madu).

"Kalau sakit kepala diberi Novalgin, sesekali, kalau sulit tidur, Sukarno diberi tablet Valium," lanjutnya.

Selain itu, Asvi menjelaskan tekanan darah Bung Karno saat itu relatif tinggi, yakni 170/100. Tetapi ia tidak diberi obat untuk menurunkan tekanan darahnya itu. Juga tidak tercatat obat untuk melancarkan kencing ketika Bung Karno mengalami pembengkakan.

"Ketika kesehatan Sukarno semakin kritis, pipinya kelihatan bengkak, gejala pasien gagal ginjal, Guruh dan Rachmawati sempat memotret ayahnya. Foto itu sempat beredar kepada pers asing. Guruh dan Rachmawati kontan diinterogasi di markas CPM Guntur, Jakarta," tutur Asvi.

Bung Karno harus menanggung beban sakitnya itu sampai ia mengembuskan napas terakhirnya pada 21 Juni 1970.

Respons Elite PDIP

Sementarara itu, Politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno merespons pernyataan Didi Mahardika, yang menyebut sang kakek dibunuh. Menurut Hendrawan, di buku-buku sejarah juga ditulis bahwa Sukarno tidak diperlakukan manusiawi saat tinggal di Wisma Yasoo.

"Yang tertulis di buku-buku, (Sukarno) wafat di Wisma Yasoo karena sakitnya tidak ditangani dokter yang ahli dalam bidangnya (bahkan diduga yang menangani dokter hewan). Pada tahun dan bulan-bulan terakhir, hidupnya diisolasi dari dunia dan rakyat yang dicintainya. Pokoknya perlakuan yang tidak manusiawi untuk seorang Bapak Bangsa," kata Hendrawan kepada wartawan, Jumat (1/10/2021).

Hendrawan menyebut para ahli sejarah juga sepakat berakhirnya kepemimpinan Sukarno tak terlepas dari andil asing. Ada campur tangan Amerika Serikat (AS) dalam mengkudeta kepimpinan Sukarno.

"Para ahli juga bersepakat, apa yang terjadi tidak lepas dari 'politik luar negeri AS di Asia Tenggara', dan transisi kekuasaan yang terjadi merupakan suatu 'kudeta merangkak'. Jadi 'hantu komunisme' pada masanya adalah sebuah proyek politik AS," ujarnya.

Lebih lanjut Hendrawan menuturkan apa yang tertulis buku sejarah itu sudah menjadi pengetahuan umum. Hendrawan berharap masyarakat tidak terjebak dalam narasi sebaliknya.

"Pengetahuan ini sudah ditulis di buku-buku dan sudah menjadi pengetahuan umum. Kita tidak boleh terjebak dalam daur ulang narasi dendam dan permusuhan," sebutnya. (detik.com)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel