Rakyat Genjot Becak Gubernur Naik Elevator
Sunday, 28 January 2018
Edit
Darirakyat.com, Jakarta -- Masa 100 hari kepemimpinan
Anies Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno diwarnai banyak kontroversi.
Sejumlah kebijakan yang mereka ambil banjir kritik karena
dinilai justru akan membawa Jakarta kembali ke era kesemrawutan.
Masa 100 hari memang belum
sepenuhnya bisa dijadikan ukuran berhasil-tidaknya sebuah kepemimpinan.
Meski demikian, itu bisa menjadi penanda ke arah mana
kekuasaan akan dibawa.
Sayangnya, arah yang hendak dituju Anies Sandi sepertinya
arah yang salah, arah yang malah menyeret Jakarta ke belenggu masalah.
Kebijakan terkini Anies-Sandi yang patut dipersoalkan ialah
legalisasi becak.
Semua orang mengerti, becak bukanlah alat transportasi yang
manusiawi.
Semua orang tahu, becak ialah salah satu biang kemacetan dan
kesemrawutan lalu lintas.
Semua orang juga paham, bukan zamannya lagi becak menjadi
sarana mobilisasi warga.
Kita yakin pula, Anies-Sandi yang lulusan luar negeri tahu
dan paham soal itu.
Namun, mereka mengabaikan pengetahuan dan pemahaman tersebut
untuk kemudian membuat kebijakan serampangan dengan melegalkan becak.
Berderet alasan pun dikedepankan, seperti karena masih ada
yang membutuhkan becak, demi membela wong cilik, demi keadilan, dan demi-demi
lainnya.
Anies-Sandi juga berdalih bahwa legalisasi hanya
diperuntukkan 300-1.000 becak yang masih ada di Jakarta.
Keduanya tak berpikir panjang bahwa kebijakan itu sama saja
undangan bagi para penggenjot becak di daerah lain untuk berdatangan.
Itulah yang terjadi di Jakarta belakangan ini.
Becak-becak plus para abang becak dari Indramayu dan Cirebon,
misalnya, mulai menyerbu Jakarta.
Kita tahu, Anies dan Sandi ialah orang-orang pintar.
Akan tetapi, harus kita katakan, seperti halnya
kebijakan-kebijakan lain termasuk dalam penataan Tanah Abang, kebijakan mereka
soal becak bukanlah hasil dari kepintaran.
Ia sekadar kebijakan asal jadi, kebijakan yang semata untuk
memenuhi janji saat kampanye pilkada.
Melegalkan becak sama saja dengan memberikan stempel kepada
tukang becak untuk terus berkubang dalam kemiskinan.
Banyak cara sebenarnya untuk mengentaskan tukang becak dari
kehidupan papa, seperti yang dilakukan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini
dengan menjadikan mereka sebagai pegawai pemkot.
Namun, beda kecerdasan beda pula cara yang dilakukan.
Beda dengan Risma, Anies-Sandi memilih membiarkan tukang
becak tetap menjadi tukang becak yang harus memeras peluh di jalanan ketimbang
menjadikan mereka sebagai pegawai yang digaji pemprov.
Kebijakan legalisasi becak kian paradoksal jika kita
sandingkan dengan upaya Anies-Sandi memanjakan diri, termasuk dengan pengadaan
elevator di rumah dinas gubernur.
Syukur pers mengendusnya sehingga kebijakan mewah itu pun
batal.
Akan tetapi, Anies semestinya sudah menandatangani anggaran
pengadaan elevator itu.
Itu artinya ada nawaitu atau niat dalam diri Anies untuk
bermewah-mewah diri.
Becak dan elevator jelas kebijakan paradoksal.
Rakyat berpeluh menggenjot becak, sedangkan gubernur nyaman
menikmati elevator.
Becak identik dengan kemiskinan, elevator simbol kemewahan.
Itulah Jakarta, setidaknya saat ini di bawah Anies-Sandi. Akankah kontroversi
dan kontradiksi seperti itu terus berlanjut?
Semua bergantung pada Anies dan Sandi.
Selama keduanya hanya ingin terlihat melunasi janji selama
kampanye tak peduli meski janji itu kontraproduktif bagi kemajuan, selama
keduanya terus mem-branding diri demi ambisi politik, Jakarta bisa jadi akan
kian mengenaskan.
Anies-Sandi memang orang-orang pintar. Apalagi Anies, ia amat
pandai mengolah kata menjadi rangkaian yang menghanyutkan.
Akan tetapi, mereka dipilih dan digaji untuk mengelola Ibu
Kota agar menjadi lebih baik, bukan untuk mengumbar retorika.