Pengacara Ancam Tuntut Semua Pelapor Eggi Sudjana Rp1 Triliun. Ini Sebabnya!
Sunday 8 October 2017
Edit
Darirakyat.com -- Ketua Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan
Pemuda Hindu Indonesia Sures Kumar melaporkan pengacara Eggi Sudjana
ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan tindak pidana menyebarkan ujaran kebencian
dan SARA. Eggi sebelumnya mengatakan agama selain Islam bertentangan dengan
sila pertama Pancasila lantaran tidak memiliki konsep keesaan Tuhan.
Razman Arif Nasution, pengacara bagi Eggi Sudjana,
menyatakan siap melaporkan balik pelapor kliennya atas dugaan pencemaran nama
baik. Ia mengancam akan menuntut para pelapor kliennya dengan kompensasi uang
senilai Rp 1 triliun jika Eggi tidak terbukti bersalah.
“Kami lakukan konsep laporan pencemaran nama baik dan minta
lakukan rehabilitasi dan kompensasi sesuai dengan undang-undang. Kalau kami
menang, dia sanggup bayar Rp 1 triliun, ya dia bayarlah,” kata Razman saat
dihubungi Tirto, Sabtu (7/10/2017).
Razman mengatakan, Eggi tidak bermaksud menyinggung pemeluk
agama lain di Indonesia. Eggi, menurut Razman, menyampaikan pandangannya dalam
kapasitas sebagai pemohon uji materi atas Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) No.2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Pernyataan itu menjadi bagian penjelasan Eggi dalam menolak Perppu Ormas di
Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Razman, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik tidak bisa menjerat Eggi. Sebab, Eggi tidak mendistribusikan,
mentransmisikan, dan menimbulkan kebencian seperti yang dimaksud dalam Pasal
45a dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang tersebut.
Sementara itu, terkait jeratan pasal Pasal 156a KUHP soal
penistaan agama, ia mengatakan tempat dan waktu tidak bisa menjerat kliennya.
“Secara locus dan tempus, delik itu enggak
kena,” tambah Arif.
Razman meminta para pelapor melihat pernyataan Eggi secara
obyektif. Sebab menurut Eggi, seperti diutarakan Razman, pembubaran ajaran
selain Islam adalah konsekuensi logis dari penerapan Perppu Ormas.
“Ketuhanan yang Maha Esa kalau ditafsirkan, kan, cuma orang
Islam yang masuk,” kata Razman.
Razman mengatakan, jika Perppu Ormas dipaksakan, konsekuensi
logis dari penerapannya adalah benturan-benturan di masyarakat. “Paling
tidak, intelektualitas keyakinan orang tentang pemahaman Pancasila dan
sila 'Ketuhanan yang Maha Esa' itu diperdebatkan,” ujarnya.
Eggi Siapkan 10 Pengacara
Razman mengatakan kliennya belum menerima
panggilan kepolisian. Namun, dia mengatakan Eggi siap diperiksa kapan pun.
Selain itu, Razman juga telah menyiapkan 10 orang pengacara untuk menjadi
kuasa hukum Eggi jika ia nanti dibawa ke meja hijau.
“Kalau ada panggilan, kami datangilah. Kami jelaskan. Enggak
ada masalah itu,” katanya.
Saat dikonfirmasi terpisah, Eggi kembali mengulang
pernyataan kontroversialnya. Ia mengatakan agama-agama selain Islam tidak
memiliki konsep Ketuhanan yang Maha Esa. Dalam konteks itu, agama-agama selain
Islam bisa dibubarkan karena bertentangan dengan sila pertama Pancasila.
Namun, Eggi Sudjana menegaskan pernyataan tidak
dimaksudkan untuk membubarkan agama-agama non-Islam. Menurutnya Islam
mengajarkan toleransi dan melarang pembubaran agama yang berbeda.
Menurut Eggi, pernyataan itu dilontarkan sebagai argumentasi
penolakan terhadap Perppu Ormas. Jika Perppu Ormas diberlakukan, agama
selain Islam bisa dibubarkan karena bisa dipahami bertentangan dengan sila
pertama Pancasila.
“Penekanannya bukan pada kalimat ‘selain agama Islam harus
dibubarkan’ tapi lebih kepada konsekuensi hukum jika Perppu No.2/2017 itu
disahkan atau berkekuatan hukum tetap. Paham atau ajaran apapun yang
bertentangan dengan Pancasila dibubarkan,” katanya.
Eggi juga memastikan dirinya akan melaporkan pihak-pihak yang
mempolisikan dirinya atas pernyataan tersebut. "Ya dengan pasal 220 dan
317 KUHP," ujar Eggi.
Sejarawan dan Rohaniwan: Argumen Eggi Keliru
Meski diposisikan sebagai dasar atau argumentasi gugatan
Perppu Ormas, pernyataan Eggi tetap dianggap mengandung kekeliruan.
Secara historis, ucapan tersebut abai pada fakta bahwa sila
"Ketuhanan yang Maha Esa" justru merupakan akomodasi dari penolakan
kaum minoritas terhadap sila pertama versi Piagam Jakarta. Karena ada
protes, 7 kata pada Piagam Jakarta yang berbunyi "Ketuhanan dengan
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" diganti menjadi "Ketuhanan
yang Maha Esa" yang bisa diterima semua kelompok agama.
"Ini karena alasan keutuhan negara Indonesia. Akhirnya
PPKI menghilangkan kata-kata itu. Selain itu, dalam naskah UUD, lema
"Allah" diganti "Tuhan" yang lebih umum," kata
Muhammad Iqbal, sejarawan yang mengajar di IAIN Palangka Raya.
Andi Achdian, sejarawan lain, menjelaskan bahwa
"esa" juga bukan bermakna "satu."
"Esa itu penggunaan yang umum dalam bahasa Sanskrit. Esa
artinya bukan tunggal, satu. Itu ['tunggal,' merujuk pada] Eka. Kalau 'esa'
artinya maha kuasa. Keesaannya merujuk pada kekuasaannya," kata Andi
kepada Tirto.
Pendapat
rohaniwan Katolik sekaligus guru besar filsafat STF Driyarkara,
Franz Magnis-Suseno, juga senada dengan kedua sejarawan tersebut. Bagi
Magnis, ucapan Eggi mengandung dua kesalahan besar.
Kesalahan pertama adalah kesalahan historis saat memaknai
Pancasila seperti diuraikan Iqbal dan Andi. Kekeliruan kedua ada pada
ranah teologis, saat Eggi menafsirkan konsep Trinitas Kristen bertentangan
dengan "Ketuhanan yang Maha Esa."
“Jadi, [Trinitas] bukan tiga dewa, [melainkan] satu Tuhan
yang menyatakan diri dalam tiga wujud,” kata Romo Magnis. (tirto.id)