Telak! Jokowi Buat Nalar 2 Jenderal Menjadi Lelucon, Demo 287 Gagal
Saturday, 29 July 2017
Edit
Darirakyat.com -- Manufer
dua jenderal berakhir lelucon. Pertemuan keduanya Kamis, 27 Juli 2017 saja
sudah menjadi lelucon. Alasannya, dua jenderal ini sebelumnya musuh bebuyutan,
namun kini saling tarik, merangkul. Isi pertemuan mereka juga lelucon karena
hambar, tak sepedas nasi goreng yang mereka cicipi.
Leluconpun
mengalir dari keduanya. Katanya, kedua jenderal ini telah berikrar bersama.
Keduanya mau mengawal sepak-terjang Sang Presiden ‘Ndeso’ yang spektakuler.
Artinya, mereka mau mengawal yang lurus agar menjadi bengkok dan yang bengkok
agar menjadi jongkok. Mantap.
Perhatikan baik-baik komentar
tahu-tempe mereka. Jenderal yang satu mengatakan UU Pemilu yang baru disahkan
oleh DPR adalah lelucon. Parliamentary
threshold 20% adalah lelucon. Nalar sang jenderal rupanya sudah turun
berat. Itu efek nyapres yang gagal melulu. Ia lupa bahwa 2 kali Pilpres
sebelumnya memakai parliamentary threshold 20%.
Dengan
menganggap bahwa UU Pemilu yang baru disahkan adalah lelucon, berarti sang
jenderal terbukti gagal paham bahwa produk UU Pemilu itu dari DPR. Bisa
dibayangkan jika sosok jenderal ini menjadi Presiden. Ia cepat lupa dan
menganggap semuanya lelucon. Mengerikan.
Nah
itu kisah jenderal yang satu, jenderal yang gagal bermimpi. Lalu bagaimana
dengan jenderal yang lainnya? Jenderal ini, sukses menjadi Presiden 2 periode
alias 10 tahun. Selama 10 tahun ia sukses meninabobokan rakyat dengan aneka
subsidi dan tak punya nyali mencabutnya. Lalu ia tambah ninabobo dengan
lagu-lagunya yang PHP. Tetapi infrastruktur nihil, radikalisme tumbuh
senyap-sunyi dan siap meletus dahsyat.
Namun
itu bukan lelucon. Leluconnya adalah ketika sang jenderal gagal membumi
pasca lengser. Ia menganggap diri masih menjadi Presiden, terus menasehati
Presiden ‘Ndeso’ lewat twitter. Padahal dulu ia tidak berbuat banyak. Lengser
dari kursi empuk di istana memang mengharukan. Menerima keadaan pensiun dari
kekuasaan adalah hal yang menyakitkan. Anak pun jadi korban ambisi, dicoba
diorbitkan, namun gagal total.
Maka sang jenderal yang gagal
membumi, membuat lelucon seusai bertemu dengan jenderal yang gagal bermimpi.
Kekuasaan Presiden ‘Ndeso’ sudah absolut. Sudah abuse of power. Begitu komentar nyinyirnya.
Dimana absolutnya? Tangkisan Sang Presiden ‘Ndeso’ telak dan menusuk jantung
sang jenderal.
Di
era smartphone ini, kecuali kalau masih menggunakan Nokia yang mudah disadap
Australia itu, tak ada lagi kekuasaan yang absolut. Alasanannya karena ada
selalu pers yang mengawal. Ada rakyat, ada DPR, ada penegak hukum yang selalu
mengawasi. Jadi kalau Sang Presiden ‘Ndeso’ berkuasa absolut, itu lelucon dari
sang jenderal yang gagal membumi. Itu nalar yang sudah bengkok. Itu itulah
lelucon.
Lalu
mengapa dua jenderal nalarnya menjadi bengkok?
Bagi sang jenderal yang gagal bermimpi, naiknya sang Presiden
‘Ndeso’ sangat menyakitkan. ‘Ndeso’ yang baru satu kali nyalon, langsung
menjadi Presiden. Itu tidak mungkin, itu tidak mungkin. Oh tidak mungkin. Kata-kata
itu terus mengingang-ngiang, mendengung-ndengung dan mengaum-ngaum di telinga,
di mata, dan di seluruh panca indera. Lalu dunia berkunang-kunang, langit
berputar-putar dan nalar menjadi bengkok. Parliamentary threshold 20% lelucon. Begitu
katanya. Lelucon.
Bagi
sang jenderal yang gagal membumi, ketegasan dan keberanian sang Presiden Ndeso,
sangat mengusik. KMP, Petral dibubarkan dan PSSI dibekukan. Lalu kapal asing
ditenggelamkan. Papua dibangun besar-besaran. Perbatasan dimegahkan, jalan tol,
kereta api dan banyak lagi dibangun besar-besaran. Busyet. Baru satu tahun, si
‘Ndeso’ kalahkan gua yang sepuluh tahun berkuasa. Itu pun gua masih mangkrak di
Hambalang. Ternyata nyali sang Presiden ‘Ndeso’ sungguh membelakkan mata,
ketika HTI dibubarkan.
Sang
jenderal, mantan Presiden, yang gagal membumi tak tahan. Skak-skak mat Sang
Presiden ‘Ndeso’ sungguh menusuk dan menyayat ulu hati. Sang Jenderal terpaksa
cari kawan. Musuh bebuyutan terpaksa dirangkul. Ego dan rasa malu keduanya
terkikis karena dirasuki oleh kepentingan abadi. Keduanya tak tahan terusik.
Jenderal yang satu terus, terus dan terus kebelet ingin mencicipi rasa manisnya
kursi Presiden. Sedangkan jenderal yang lainnya tak tahan melihat sepak terjang
spektakuler sang Presiden Ndeso. Ia ingin menghentikan dan menjegalnya. Lalu
keduanya berangkulan untuk memanasi demo 287, tetapi gagal.
Itu
kisah kedua jenderal. Bagaimana kisah sang pelengser Gusdur, sesepuh si Amin
Rais, sosok yang tak bisa menepati janji, jalan kaki dari Yogyakarta-Jakarta
dan Jakarta-Yogyakarta? Katanya, sang sesepuh yang nalarnya terus turun karena
digerogoti oleh rasa benci yang amat sangat, mau memimpin demo di Istana,
di MK entah di mana lagi. Namun hari ini saat demo 287, sisesepuh tak nongol.
Alasan, kesehatan. Tetapi itu mungkin hanya alibi.
Ketika
anggota demo tak sesuai harapan dan gagal memancing 7 jutaan massa, maka
hasilnya pun gagal. Jumlah yang jauh dari 7 jutaan itu sudah terlihat saat
salat di Istiglal. Akibatnya sang sesepuh pun mundur teratur dan tidak lagi mau
memimpin demo di MK apalagi di istana. Wibawanya di atas mobil komando akan
hambar jika anggota demo tinggal seupil. Sangat berbeda halnya jika anggota
demo berjibun seperti demo 212 yang lalu. Itu alasan yang pertama. Alasan
kedua, rupanya sisesepuh baru sadar jika ia tidak didukung oleh MUI dan
ketakutan jika kelak ia dicap sebagai pendukung berat HTI. Atau mungkin alasan
ketiga, ia sudah paham bahwa demonya tak karuan, ngawur-ngawuran, gagal alias
lelucon.
Nah
itu kisah sisesepuh yang gagal pimpin demo. Si sesepuh terlihat terus gagal
menarik perhatian Sang Presiden ‘Ndeso’. Bahkan Si Presiden ‘Ndeso’ tak melirih
sedikitpun kepada sisesepuh, mendengar ocehannya, apalagi takut. Malah si
Presiden ‘Ndeso’ sekarang semakin menakutkan karena ia telah membunyikan
genderang perang untuk menggebuk mereka-mereka yang menghasut, memfitnah,
mengganti Pancasila dan memproklamasikan negara khilafah. Begitulah kura-kura.(seword.com)