Indonesia Dilarang Putus Asa Membela Pancasila

Darirakyat.com -- Pancasila adalah gagasan mulia dan terbukti digdaya sehingga berhasil mengobarkan niat dan semangat semua komponen bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dari cengkraman Negara yang mengumbar nafsu angkara murka. Rakyat tidak pernah meragukan validitas keperkasaannya. Namun, dalam perjalanan membangsa dan menegara, selalu saja terselip tanda Tanya, mengapa usia pancasila yang lebih dari tujuh dasawarsa masih banyak rakyat merasa sengsa dan teraniaya?

Penyebab multikuasa, tetapi penyebab utama semakin lama semakin kasatmata para penguasa meskipun mulutnya berbusa-busa mengamalkan pancasil, tetapi ternyata sebatas bersimulakra. Mengolah mengontruksi, serta memanipulasi kata-kata sekedar untuk bersiasat merengguk, memelihara, dan mengumbar nafsu kuasa. Perilaku tercela dilakukan dengan sadar, sengaja, saksama, dan terencana, serta sistematika yang sempurna. Ringkasanya, Negara pura-pura ber-Pancasila.

Obral Retorika
         
Kurun waktu yang disebut Orde Lama, tatanan Negara disebut Demokrasi Terpimpin, pada galipnya lebih dari dua dasawarsa, mengobral retorika dan bermuara pada kebenaran adalah milik penguasa, hapir dapat dipastikan rute menuju penjara. Pancasila hanya direduksi maknanya sebagai alat pemersatu bangsa atau jimat dan pusaka; tetapi bukan cita-cita yang menuntun kebijakan Negara mewujudkan warga bangsa bahagia.

Tatanan Negara Demokrasi Pancasila, sama dan serupa dengan periode sebelumnya. Di awali dengan retorika tekad melaksanakan pancasila dan konstitusi secara murni, konsekuan dan saksama, praktiknya selama lebih kurang tiga dasawarsa, kenyataannya berbanding terbalik dengan kata-katanya.

Alih-alih merawat semangat Bhineka Tuggal Eka, bahkan siapa yang berani berselisih pendapat dengan penguasa langsung mendapat stigma menista Negara dan dicari sampai ke ujung dunia untuk digiring ke penjara. Pancasila berhenti menjadi mantra Negara dan dimanipulasi pengusa untuk membenarkan perilaku serakahnya, bukan cita-cita yang diterjemahkan menjadi kebijakan Negara yang memihak kepada kepentingan rakyat jelata.

Koreksi terhadap Demokrasi Pancasila dilakukan oleh kekuatan rakyat jelata yang sudah tidak mampu lagi memikul kesewenang-wenangan penguasa. Babak baru disebut era Reformasi karena gelora semangat membangun tatanan Negara yang benar-benar merupakan perwujudan dari kedaulatan para kawulan.

Cita-cita mulia yang memerlukan tekad dan energy raksasa serta menuntut kemampuan mati raga agar penguasa Negara tak hanyut oleh hasrat dan goda nikmat kuasa. Agenda berat lainya adalah membangun lembaga-lembaga politik dan Negara guna menampung dan mengelola ledakan partisipasi warga yang menggelora karena puluhan dasawarsa dikekang dan dibungkam.

Selama hapir dua dasawarsa banyak dilakukan agenda perubahaan tatanan Negara. Lembaga-lembaga Negara disusun atas perinsip saling mengontrol dan memeriksa sehingga tidak satu pun institusi paling berkuasa. Kekuatan masyarakat menjadi modal utama mengontrol kuasa Negara. Sedemukian perkasanya semangat populisme berbasis massa, membuata eksistensi Negara antara ada dan tiada. Akibatnya, Negara sering kali nyaris tidak berdaya menghadapi tekanan massa.
Digerogoti.

Perinsip setara di depan hokum dan regulasi Negara bablas menjadi kekebasan tiada tara. Kebebasan berbicara tidak hanya mereka yang dukung Pancasila, bahkan ujaran bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang menggerogoti falsafah bangsa, dianggap sebagai manifestasi prinsip setara. Potensi anarki menjadi semakin kasatmata dan mulai merajalela bila Negara tidak segera bertindak tegas dan cekatatan terhadap anasir-anasir yang akan memorakporandakan sendi-sendi hidup bersama.

Golongan ancaman bersemangat SARA terhadap Pancasila semakin menggila melalui media sosial, terutama dalam pertarungan merebut kuasa yang seharusnya merupakan kompetisi politik biasa memuliakan kepentingan bersama. Kewarasan kolektif warga limbung digulung oleh banjir kata-kata tanpa makna yang menyesatkan logika. Iming-iming surge menjadi kekuatan tanding terhadap kerja nyata di dunia.

Oleh sebab itu, isu sentra bukan SARA melainkan sentiment primordial bernuansa SARA yang disalahgunakan untuk menggalang solidaritas massa demi hasrat kemaruk kuasa. Akibatnya, pemungutan suara yang seharusnya menjadi sarana memperkukuh dinamika soliditas dan stabilitas pemerintahan malah berpotensi membela bangsa.

Tindak tegas Presiden Joko Widodo mencegah larutnya perseteruan bangsa antara lain dengan mengirim pesan akan “menggebuk” siapa pun yang berniat menumbangkan Negara Pancasila. Penegasan tersebut melengkapi gaya kepemimpinan Presiden dengan keteladanan hidup sederhana, kerja nyata, dan besedia berbela rasa dengan rakyat jelata.

Tekat tersebut wajib ditindaklanjuti dengan kebijakan politik pendidikan untuk menggembleng karakter rasa keIndonesiaan generasi muda serta saling berbela rasa dalam Ke-Bhineka Tunggal Ika-an. Cita-cita mewujudkan bangsa yang bahagia hanya menjadi nyata kalau semua anak bangsa dapat merasakan derita sesamanya. Para penguasa harus bersedia menderita dan mati raga membatasi nafsu angkara mereka.
                
Keniscayaan bagi Negara berhenti pura-pura ber-Pancasila dan berwacana berselimutkan simulacra karena mengundang bencana bagi bangsa dan Negara. Bangsa Indonesia dilarang putus asa membela Pancasila karena nilai-nilainya telah memberi bukti nyata bagi kedigdayaan melawan penjajah dan mempersatukan bangsa.

J KRISTIADI
Peneliti Senior CSIS

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel